Bicara soal Chelsea pasca era Roman Abramovich, rasanya tak jauh dari kata kacau. Pada titik tertentu, kekacauan itu malah terlihat seperti satu situasi yang berjalan secara sistematis.
Sejak diambil alih Todd Boehly dan kolega, kekacauan itu terlihat di bursa transfer. Begitu juga dengan dinamika di posisi pelatih.
Di bursa transfer, The Blues secara ugal-ugalan menggelontorkan dana lebih dari satu miliar pounds dalam dua tahun terakhir, dengan dua kali memecahkan rekor transfer pemain termahal Liga Inggris, kala memboyong Enzo Fernandez (Argentina) dan Moises Caicedo (Ekuador).
Dari profil pemain yang didatangkan, rata-rata dari mereka berusia di bawah 23 tahun. Ada juga yang baru akan bergabung di usia 18 tahun, seperti Kendry Paez (Ekuador). Tanpa ragu, manajemen Chelsea juga memborong tiga pemain muda Brasil, yakni Andrey Santos, Angelo Gabriel dan Deivid Washington.
Koleksi talenta muda di Stamford Bridge berpeluang bertambah di musim panas 2024. Penyebabnya, Chelsea sudah tinggal meresmikan transfer Estevao Willian (Brasil) dari Palmeiras, dengan total ongkos transfer mencapai 55 juta pounds.
Dengan datangnya sederet pemain muda potensial dan perginya sejumlah pemain senior, termasuk Thiago Silva di musim panas 2024, tim dari kota London ini tampak seperti sebuah tim yang dibentuk dengan gaya belanja ala game Football Manager: penuh talenta muda berbakat, dan selalu memprioritaskan transfer talenta muda terbaik, berapapun harganya.
Di dunia game, strategi ini biasa mendatangkan prestasi, karena tim yang dibangun bisa berkembang, baik secara prestasi maupun kinerja finansial. Tapi, di dunia nyata, strategi ini malah lebih banyak menciptakan kekacauan.
Terbukti, sejak Boehly dan kolega berkuasa di Chelsea, tim yang tadinya bersaing di papan atas turun kelas. Komposisi tim yang terdiri dari banyak pemain, ditambah aneka masalah cedera, berdampak negatif pada performa tim.
Pelatih pun dibuat kewalahan, karena komposisi tim yang "gemuk" akan membuatnya harus bekerja keras, untuk menemukan formula terbaik. Jika gagal ditemukan, jangan harap performa tim akan sesuai harapan.
Sebenarnya, masalah ini sudah terekspos di musim 2022-2023, saat Graham Potter gagal total di periode singkatnya. Masalah serupa juga muncul, di paruh pertama musim 2023-2024 bersama Mauricio Pochettino.
Beruntung, pelatih asal Argentina itu mampu memperbaiki situasi di paruh kedua musim 2023-2024. Hasilnya, tim yang sempat terdampar di posisi 12 Liga Inggris mampu finis di posisi 6 klasemen akhir, menjadi finalis Carabao Cup, dan tampil di kompetisi antarklub Eropa.
Untuk ukuran situasi klub yang masih dalam masa transisi, dan membangun ulang tim, capaian eks pelatih Tottenham Hotspur ini terbilang bagus. Dengan formula yang sudah ditemukan, seharusnya masih ada kesempatan buatnya melatih semusim lagi.
Apalagi, eks pelatih PSG ini juga dikenal punya rekam jejak sebagai pelatih yang tak pernah protes atau punya permintaan macam-macam, ketika menangani Spurs dan PSG. Rekam jejak ini juga yang membawanya ke kursi pelatih Chelsea.
Di Stamford Bridge, eks pelatih Espanyol ini juga masih kalem, ketika manajemen klub royal belanja pemain, termasuk saat Caicedo datang dari Brighton dengan ongkos transfer 115 juta pounds.
Tapi, kekaleman Poch pada akhirnya terusik, saat Boehly dan kolega mulai merecoki area kepelatihan, dengan ide mendatangkan staf pelatih spesialis. Ide ini secara tegas ditentang sang pelatih.
Sebenarnya, keberadaan pelatih spesialis (selain pelatih kiper dan pelatih fisik) belakangan sudah jadi tren di sepak bola modern. Sebagai contoh, Liverpool pernah mempekerjakan Thomas Gronnemark (Denmark) sebagai pelatih spesialis lemparan ke dalam, antara tahun 2018-2023, untuk memperbaiki kelemahan tim dalam situasi lemparan ke dalam.
Masalahnya, rencana para petinggi Chelsea ini dinilai sudah melewati batas, karena rencana semacam ini biasanya ditentukan oleh pelatih. Apa boleh buat, Pochettino dan Chelsea pun sepakat berpisah, tak lama setelah Liga Inggris musim 2023-2024 usai.
Intervensi berlebihan Todd Boehly dkk sendiri terbukti, dengan Chelsea
mendatangkan Christian Cueva (pelatih spesialis bola mati) dari Brentford, tak lama setelah melepas sang pelatih kepala.
Ironisnya, nama Pochettino sendiri belakangan masuk daftar kandidat pelatih baru Manchester United, menggantikan Erik Ten Hag yang akan dilepas usai final Piala FA.
Maka, bukan kejutan kalau Thomas Frank (pelatih Brentford) masuk daftar kandidat pelatih baru Chelsea, dan menjadi pelatih idaman Boehly dkk. Mereka ingin terus memegang kendali, meski secara struktur agak tumpang tindih.
Di pos pelatih, tidak ada batasan peran yang jelas, karena titelnya masih "manajer", layaknya pelatih di Liga Inggris. Pada prakteknya, pelatih ini hanya berperan sebagai "pelatih kepala", karena ada duet Laurence Stewart dan Paul Winstanley di pos Direktur Olahraga klub.
Situasi menjadi lebih rumit, karena Todd Boehly dan Bedad Eghbali selaku co-owner klub, kadang menginginkan kontrol seluas mungkin. Alhasil, ketika tim belanja pemain, tidak semua sesuai kebutuhan.
Bos yang bertingkah, pelatih yang susah. Tidak cocok sedikit saja bisa langsung dipecat.
Soal pergantian di pos pelatih, Chelsea sebenarnya tergolong klub yang tidak sabaran, khususnya sejak era Roman Abramovich. Bedanya, di era Abramovich, pergantian pelatih umumnya terjadi karena masalah performa di lapangan, sementara di era Boehly, faktornya lebih sulit ditebak, karena urusan performa bukan acuan tunggal.
Tapi, tim rival sekota Arsenal ini bisa meraih aneka prestasi di era Abramovich, karena punya struktur di balik layar yang sangat rapi. Orang-orangnya pun memang kompeten. Jadi, meski sering berganti pelatih, klub masih relatif stabil karena ada perencanaan dan ide proyek olahraga yang jelas.
Kelebihan ini belum dimiliki Boehly dan kolega, yang terkesan serampangan. Sudah strukturnya kacau, tumpang tindih, personelnya juga kurang kompeten.
Hasilnya, tercipta sebuah kekacauan  sistematis. Meski mulai menampakkan progres di tahun kedua, kekacauan sistematis yang "dibudayakan" di Chelsea justru bisa mendatangkan kemunduran, karena pelatih baru harus beradaptasi dari nol.
Dengan tingkat kesabaran setipis kertas dan ego begitu besar di level pemilik klub, siapapun pelatihnya akan dipaksa bekerja keras. Sudah begitu, wewenang terbatas, tapi tuntutan prestasi sangat tinggi.
Untuk 1-2 tahun terakhir, para bos di Chelsea mungkin bisa jumawa karena punya dana transfer melimpah. Tapi, dengan situasi yang ada dan progres yang cenderung lambat, ini bisa jadi bumerang di tahun-tahun berikutnya.
Kalau situasi tak kunjung membaik, tinggal tunggu waktu untuk kita melihat Chelsea jadi tim kelas medioker.
Mengenaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H