Klub sekelas Leicester City yang dimiliki King Power (Thailand) saja hanya berani memberi kontrak untuk Thanawat Suengchitthawon (Pemain Timnas Thailand) sebagai pemain di tim cadangan antara tahun 2020-2023, karena sang pemain punya paspor Prancis, dan pernah memperkuat Nancy (tim liga Prancis) di level junior.
Masih di Inggris, Wolverhampton Wanderers yang dimiliki oleh Fosun Group (Tiongkok) pernah mengontrak Dongda He alias He Zhenyu antara tahun 2018-2023. Tapi, pemain yang kini membela Changchun Yatai datang sebagai "homegrown player" di Inggris karena sebelumnya memperkuat akademi Notts County sejak tahun 2012.
Pada kasus lain, ada PSG, Manchester City dan Newcastle United, yang masing-masing dimiliki keluarga kerajaan Qatar, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Tapi, tidak (atau setidaknya belum) ada pemain dari tiga negara tersebut di tim.
Di La Liga Spanyol, ada Peter Lim (Singapura) yang menjadi pemilik klub. Tapi, tak ada pemain asal Singapura di sana. Paling mentok, Los Che cuma pernah melakukan tur pramusim dan membuka cabang akademi di sana.
Memang, pernah ada Bakrie Group yang pernah menjadi pemilik CS Vise (Belgia) dan menitipkan alumnus proyek SAD Uruguay di sana, misal Syamsir Alam dan Alfin Tuasalamony. Sayangnya, klub ini lalu mengalami krisis keuangan dan dinyatakan bangkrut tahun 2014
Jelas, narasi "jalur ordal" yang diapungkan media di Indonesia hanya sebuah asumsi kultural, berdasarkan budaya kerja di Indonesia, yang pada titik tertentu memang agak absurd.
olahraga jangka panjang dan tertata rapi. Pemilik klub hanya memberikan dukungan dana. Manajemen dan tim pelatih lah yang menentukan di lapangan. Ini tidak bisa dibolak-balik atau dibongkar pasang seenaknya.
Di liga-liga Eropa, sebuah tim dibangun dari sebuah proyekDengan pemberitaan masif dan narasi bias yang kadang cenderung "lebay", mungkin akan menarik kalau Thom Haye benar-benar mendarat di Como. Jika kenyataan berkata lain, ini akan sangat memalukan, karena terbukti tidak benar, dan menunjukkan dangkalnya perspektif yang ada.
Berangkat dari situ, seharusnya media (khususnya di Indonesia) perlu lebih objektif dalam pemberitaan seperti ini. Jangan sampai narasi bias atas nama "nasionalisme" menciptakan "budaya" negatif yang mengaburkan objektivitas dan  mewajarkan pembodohan publik.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H