Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Edukasi Suporter di Indonesia, Sebuah Urgensi

10 Mei 2024   16:46 Diperbarui: 10 Mei 2024   17:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berakhirnya kiprah Timnas U-23 di semifinal Piala AFC U23 dan play-off Asia-Afrika Olimpiade 2024 menghadirkan aneka narasi. Sebagian besar menyuarakan rasa bangga, karena Garuda Muda bisa melangkah jauh dan melampaui target PSSI di level Asia.

Melangkah jauh dan melampaui target awal PSSI di level Asia merupakan dua hal yang sangat mustahil di masa lalu. Tapi, kemustahilan ini mampu dihadapi dan ditaklukkan Rafael Struick dkk, dengan bonus sebuah mimpi meraih tiket Olimpiade 2024.

Untuk ukuran negara yang masih berada di peringkat 134 FIFA, ini adalah satu lompatan besar. Jelas, masih ada kekurangan yang perlu dibenahi, tapi lompatan besar di level Asia (seharusnya) bisa menjadi modal awal yang sangat bagus.

Apalagi, sebelum era Erick Thohir, PSSI dan pihak-pihak terkait lebih suka mengejar mimpi juara di level Asia Tenggara. Saking terobsesinya, turnamen level Asia apalagi kualifikasi Olimpiade hanya jadi prioritas kesekian.

Jadi, ketika logika terbalik ini ditata ulang oleh eks pemilik Inter Milan itu, jelas ada sedikit harapan. Meski begitu, diantara sekian banyak kekurangan yang perlu dibenahi, edukasi suporter menjadi sebuah urgensi mendesak.

Dari kekalahan 0-1 melawan Guinea di play-off Asia-Afrika Kualifikasi Olimpiade 2024, ada begitu banyak narasi soal keputusan wasit yang dinilai bias, dan ketiadaan perangkat VAR. Padahal, kalau boleh dilihat secara objektif, keduanya cukup bisa dimengerti.

Soal keputusan wasit yang dinilai bias, khususnya soal sepasang hadiah penalti wasit untuk tim asuhan Kaba Diawara, sebenarnya cukup "debatable". Tapi, adanya kontak fisik membuat wasit tanpa ragu menunjuk titik putih.

Pada penalti pertama, meski kontak fisiknya minim, Witan Sulaeman jelas melakukan "tactical foul", sebagai orang terakhir di lini belakang, untuk menghambat pergerakan lawan yang punya ruang bebas mencetak gol. Situasi ini menjadi satu-satunya pilihan, karena pemain Indonesia sudah kalah jumlah dan "kalah langkah" dalam situasi serangan balik.

Di momen ini, bola berada di dalam area kotak penalti dan sebagian besar anggota tubuh pemain Guinea berada di kotak penalti. Inilah poin "memberatkan" yang membuat wasit menunjuk titik 12 pas. Gol pun akhirnya tercipta, setelah Illaix Moriba mampu mengecoh Ernando Ari.

Pada penalti kedua, yang meski gagal gol turut diwarnai protes keras Shin Tae-yong dan kartu merah wasit untuk sang pelatih, sebenarnya titik perdebatan ada pada tekel Alfeandra Dewangga yang mengenai bola.

Masalahnya, dalam momen ini, ada satu hal yang memberatkan. Posisi bola yang masih condong berada dalam penguasaan pemain Guinea (tidak dalam posisi "fifty-fifty) sehingga dianggap sebagai pelanggaran. Kalau posisinya perebutan bola secara "fifty-fifty", tekel ini bersih dan permainan masih akan berlanjut, karena wasit tidak melihatnya sebagai pelanggaran.

Terlepas dari pro-kontra soal keputusan wasit, Timnas U-23 sebenarnya cukup beruntung, karena kecepatan istimewa Tim Syli tidak diimbangi dengan penyelesaian akhir yang klinis. Kalau dua hal ini seimbang, gawang Ernando Ari mungkin sudah kebobolan gol lebih banyak oleh tim dari Afrika Barat ini.

Soal ketiadaan VAR, sebenarnya ini lebih disebabkan karena venue pertandingan di Clairefontaine memang tidak punya fasilitas untuk VAR dan penerangan sesuai standar. Karena itulah pertandingan digelar pada siang hari waktu Prancis

Namanya juga lapangan akademi sepak bola dan lapangan tempat latihan Timnas Prancis. Kapasitasnya pun terbatas, hanya 520 kursi.

Pertandingan play-off Asia-Afrika Olimpiade Paris ini sendiri awalnya direncanakan berlangsung secara tertutup, dengan pertimbangan keamanan jelang Olimpiade 2024, dan rekomendasi aparat kepolisian setempat. Karena itulah, venue nya berada di Clairefontaine, bukan lapangan Stadion Parc Des Princes markas PSG atau Stade De France yang biasa dipakai Timnas Prancis.

Gambaran yang saya jelaskan ini mungkin sangat berbeda dengan pendapat media atau warganet kebanyakan, tapi tetap perlu disampaikan, karena efek patah hati akibat Indonesia nyaris lolos ke cabang olahraga sepak bola putra Olimpiade terlihat agak mengganggu.

Selain karena "frame" media yang cenderung bias (atas nama "nasionalisme") sejumlah oknum suporter Timnas U-23 juga menumpahkan kekecewaan dengan kata-kata maupun hinaan bernada rasis di postingan akun media sosial FGF (PSSI-nya Guinea) dan akun-akun terkait.

Saking mengganggunya, akun X (sebelumnya Twitter) @Joueurs_GN sampai mengeluhkan banjir komentar bernada rasis dari fans Timnas U-23 dan mengumumkan menonaktifkan komentar Instagram  mereka. Seperti pada pernyataan berikut:

Jelas, ini perilaku yang sangat tidak bermoral, dan harus dibina serius PSSI juga pihak-pihak terkait, karena ini adalah masalah mental khas tim kelas bawah. Gagal lolos ke Olimpiade di tahap akhir memang menyakitkan, tapi bukan berarti boleh bersikap rasis pada Illaix Moriba dkk.

Sikap seperti ini sangat memalukan. Memangnya, Indonesia bisa lolos ke Olimpiade hanya dengan bersikap rasis?

Apakah dengan bersikap rasis di kolom komentar akan membuat pertandingan melawan Guinea akan diulang?

Jelas tidak, karena sikap rendahan ini malah membuat kita jadi bahan tertawaan di tingkat internasional.

Jadi, kalau memang ingin membuat Timnas Indonesia lebih baik di segala level, PSSI tidak hanya harus rutin memperbaiki kualitas liga atau strategi berburu pemain diaspora Indonesia, tapi juga harus mengedukasi suporter, supaya mereka bisa menerima kekalahan sebaik menerima kemenangan.

Selama masalah edukasi suporter tidak ditangani dengan serius, sebagus apapun prestasi Timnas Indonesia (di berbagai level) nanti, tim justru akan sulit berkembang lebih jauh, karena suporter tidak diedukasi dengan baik, dan tidak bisa bersikap sportif, karena termakan "framing" bias atas nama nasionalisme, yang sebenarnya hanya sebentuk nasionalisme banal.

Padahal, bersikap sportif dengan mengakui kekalahan Garuda Muda masih jauh lebih terhormat, daripada menggugat kemenangan Guinea dengan menambahkan komentar bernada rasis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun