Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas U-23 dan Bayang-bayang Nasionalisme Banal

1 Mei 2024   13:25 Diperbarui: 1 Mei 2024   13:31 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemenangan Timnas Indonesia U-23 atas Korea Selatan, yang disambung dengan kekalahan 0-2 atas Uzbekistan menjadi rangkuman cerita kiprah Garuda Muda di fase gugur Piala AFC U23 2024. Meski gagal menjadi juara, mereka sudah mencetak sejarah, karena langsung lolos ke semifinal sebagai debutan.

Selain itu, kesempatan lolos ke Olimpiade Paris masih terbuka, jika mampu mengungguli Irak di laga perebutan juara ketiga, 2 Mei 2024. Dengan target awal PSSI yang hanya lolos dari fase grup, lolos ke semifinal, apalagi lolos ke Olimpiade jelas merupakan sukses besar.

Malah, kegagalan lolos ke final Piala Asia U-23 ini adalah satu sukses tersendiri, karena satu celah kegaduhan dan politisasi sudah ditutup rapat. Seperti diketahui, tim juara Piala Asia U-23 dipastikan satu grup dengan Israel, Mali dan Paraguay.

Dengan "tragedi" batalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 akibat politisasi dan suasana gaduh akibat potensi kedatangan Timnas Israel U-20, situasi serupa bisa saja terjadi lagi, andai Timnas U-23 juara Piala AFC U23.

Syukurlah, Marselino Ferdinan dkk kalah di semifinal. Jadi, tak ada drama politisasi dan suara gaduh, jika mereka lolos ke Olimpiade 2024. Seharusnya begitu.

Di sisi lain, kiprah Garuda Muda di Qatar juga menunjukkan, ada satu fenomena lama yang kembali muncul, yakni bias nasionalisme yang cenderung banal. Istilah ini terdengar kasar, tapi sesuai dengan situasi yang ada.

Atas nama nasionalisme, kekalahan 0-2 atas Uzbekistan menghadirkan banyak narasi, yang sayangnya membuat sikap kurang sportif tumbuh. Teknologi VAR yang sudah membuktikan secara gamblang pun masih saja diperdebatkan.

Padahal, kalau mau objektif, kekalahan ini juga tak lepas dari keunggulan strategi, fisik dan taktik Uzbekistan. Statistik pertandingan antara lain membuktikan lewat 62% penguasaan bola dan 28 total tembakan, termasuk 3 tendangan yang mengenai gawang.

Jelas, Uzbekistan sudah mengantisipasi lewat persiapan yang begitu rapi. Mereka juga tetap tenang saat kebobolan (meski akhirnya dianulir wasit karena offside).

Sebaliknya, Garuda Muda malah tampak kebingungan dan tertekan. Ketika mendapat gol tapi dianulir wasit, mental para pemain langsung ambruk, dan semakin kacau setelah pelanggaran "tendangan maut" Rizky Ridho langsung membuahkan kartu merah.

Apa boleh buat, inilah buah dari interpretasi offside yang serba belepotan dan belum adanya VAR di Liga 1. Ditambah lagi, standar pelanggaran di Liga 1 kadang terlalu longgar 

Menendang bagian vital lawan saja kadang tak mendapat kartu merah, dan baru ada tindakan tegas setelah viral, seperti pada kasus Wahyudi Hamisi, yang viral beberapa waktu lalu.

Bagian yang menyebalkan dari kekalahan ini juga muncul, dari kesan "enggan mengakui keunggulan lawan" yang menjadi sebagian warna pendapat publik sepak bola nasional. Ujungnya, wasit (lagi) yang disalahkan.

Bias seperti ini agak konyol, karena Uzbekistan jelas-jelas bermain dominan, dan sebelum pertandingan sudah punya catatan performa mantap: selalu menang tanpa kebobolan. Berbeda dengan Qatar yang secara permainan kalah, tapi bisa mendapat kemenangan berkat keputusan wasit yang jelas menguntungkan mereka.

Kalau alasannya atas nama "nasionalisme", ini memalukan. Apalagi, laga melawan Uzbekistan juga menjadi panggung banyak pejabat narsis dan konten kreator "FOMO" yang membonceng momen ini untuk dijadikan panggung mendapat popularitas "jalur viral".

Sudah tidak mengakui kekalahan, masih juga narsis (bahkan viral dan menjadi meme). Nasionalisme macam apa itu?

Padahal, kalau saja sikap sportif itu ada, seharusnya ada keberanian untuk mengkritisi kekurangan tim di lapangan, termasuk soal taktik dan mental yang (ternyata rawan ambruk) saat situasi kurang menguntungkan.

Inilah yang sebenarnya paling dibutuhkan tim asuhan Shin Tae-yong, karena mereka perlu segera bangkit di laga melawan Irak, demi mengejar Tiket Olimpiade 2024. Ada kekurangan di laga melawan Uzbekistan yang perlu diperbaiki, demi meraih kemenangan.

Jadi, daripada hanya berlarut-larut mengkritisi kinerja wasit dan para ofisial pertandingan, apalagi sampai menebar hoax soal tanding ulang, sudah saatnya kita "mengawal" Timnas U-23 supaya bisa bersiap dan tampil maksimal di laga perebutan juara ketiga.

Mendukung aksi Timnas U-23 di Qatar memang satu wujud nasionalisme, dan itu keren, tapi akan lebih keren kalau sportivitas ada juga di sana, karena pertandingan (seharusnya) adalah tempat dimana kekalahan dan kemenangan bisa diterima dengan sama baiknya.

Kalau kita bisa menyambut kemenangan adu penalti atas Korea Selatan dengan pembahasan nonstop selama berhari-hari, seharusnya kita juga bisa menerima kekalahan atas Uzbekistan sebagai satu masukan konstruktif buat Tim Merah Putih.

Mengakui keunggulan lawan yang memang unggul di segala aspek, seharusnya tidak akan membuat kadar nasionalisme seseorang berkurang, karena inilah wujud nasionalisme "waras" lewat penerapan nilai sportivitas dalam olahraga.

Akan jadi masalah, kalau satu kekalahan lalu direspon dengan hanya mencari kesalahan pihak lain, tanpa mau melihat kekurangan sendiri untuk diperbaiki.

Kapan majunya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun