Bak pelanduk diantara gajah. Begitulah analogi soal situasi awal Timnas Indonesia U-23, ketika undian fase grup Piala AFC U23 edisi 2024 selesai digelar. Seperti diketahui, mereka satu grup dengan tuan rumah Qatar, Australia dan Jordania.
Dengan status Tim Merah Putih sebagai tim debutan, tiga tim ini jelas bukan lawan enteng. Australia merupakan salah satu tim kuat di Asia, sementara wakil Timur Tengah biasanya punya energi ekstra di kandang sendiri. Apalagi, Timnas senior Jordania dan Qatar adalah finalis Piala Asia 2023.
Situasi yang dihadapi tim asuhan Shin Tae-yong juga tak mudah. Pemain kunci macam Nathan Tjoe-A-On dan Justin Hubner hampir saja tak dilepas klubnya, sementara klub-klub Liga 1 baru bisa diajak kompromi, ketika PSSI sempat meliburkan sejenak kompetisi liga.
Apa boleh buat, target lolos fase grup yang dipatok PSSI terasa seperti satu target setengah mustahil.
Ketika pertandingan perdana melawan Qatar, Marselino Ferdinan dkk juga langsung mendapat pukulan telak. Meski secara permainan mampu mengimbangi, kombinasi strategi "furbizia" (bermain cerdik tapi licik) ala Qatar dan kinerja wasit yang tidak optimal memaksa Timnas U-23 takluk 0-2. Bonusnya, Ivar Jenner dan Ramadhan Sananta kena kartu merah wasit.Â
Biasanya, situasi seperti ini akan membuat tim kena mental dan ambruk di pertandingan berikutnya. Ini juga sudah pernah terjadi dalam sejumlah kesempatan di masa lalu.Â
Tapi, situasi negatif ini justru mampu jadi titik balik. Entah jurus dan kata sakti apa yang diucapkan pelatih Shin Tae-yong, yang jelas para pemain mampu tampil luar biasa di laga melawan Australia dan Jordania.
Australia yang diunggulkan dan tampil menyerang mampu ditekuk 1-0, dengan titik balik datang dari  tendangan penalti Mohamed Toure yang sukses ditangkis kiper Ernando Ari. Sementara itu, Jordania yang kena mental setelah kalah 1-2 melawan Qatar mampu ditekuk 4-1, dalam sebuah performa dominan sekaligus efektif.
Kali ini, Timnas Indonesia U-23 adalah tim yang berbeda, dari Timnas Indonesia U-23 yang biasa kita lihat. Mereka tidak kalah mental sebelum bertanding, karena menjadi "pelanduk diantara gajah".
Malah, posisi sebagai "pelanduk" ini mampu dimanfaatkan untuk bergerak lebih lincah dan membiarkan para "gajah", yakni Australia dan Jordania bertubrukan tak karuan.
Di pertandingan melawan Australia dan Jordania, saya melihat Timnas Indonesia U-23 bermain seolah ini pertandingan terakhir. Mereka tahu apa yang harus dilakukan, dan belajar banyak dari kekalahan melawan Qatar.
Jika mentalitas seperti ini mampu dipertahankan, sambil memperbaiki kekurangan yang ada, tampil di Olimpiade 2024 adalah satu mimpi yang masih bisa dikejar. Harapan itu masih ada, sekalipun yang dihadapi tim sekelas Korea Selatan atau Jepang, yang notabene raksasa Asia.
Di sisi lain, capaian Timnas U-23 di Qatar kali ini menjadi satu buah proses panjang yang sudah dirintis Shin Tae-yong sejak tahun 2019. Pelatih asal Korea Selatan itu pelan-pelan mentransformasi tim, terlepas dari pro-kontra yang ada.
Dari yang tadinya kehabisan bensin setelah menit ke 60 menjadi tim yang tangguh, sekalipun kalah jumlah pemain. Dari yang tadinya kurang taktis, mampu memaksa lawan memainkan taktik nakal "furbizia" ala Italia.
Dari yang tadinya sebatas mengagungkan potensi di awang-awang, kini mampu lebih realistis, dengan memanfaatkan potensi nyata dari pemain diaspora. Satu langkah yang secara frontal mampu melecut semangat pemain tim nasional dari Liga 1, sekaligus mendorong mereka untuk berani keluar dari zona nyaman.
Memang, belum ada trofi atau medali emas tingkat ASEAN, yang sukses ditorehkan eks pelatih Timnas Korea Selatan, selama bertugas di Indonesia, tapi prestasi transformatifnya jauh lebih berharga daripada "piala kaleng" level regional, karena mampu menaikkan level tim nasional Indonesia di Asia.
Dengan kondisi sepak bola nasional yang masih serba amburadul, mampu mengantar Timnas Indonesia senior dan U-23 lolos dari fase grup Piala Asia adalah satu prestasi spesial, karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Bahkan, capaian lolos ke babak perempat final Piala Asia U-23 menjadi satu standar tinggi, sekaligus satu "warisan" Shin Tae-yong di Timnas Indonesia, karena langsung sukses dicatat, pada debut Indonesia di Piala Asia U-23.
Mungkin, inilah kesempatan Timnas Indonesia mencatat (dan memperbarui) sejarah di level Asia. Semoga, momentum positif ini tetap bisa dipertahankan, supaya mereka tidak langsung jatuh, hanya karena terlalu puas diri setelah mencatat sejarah.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H