Setelah sempat jadi spekulasi dalam beberapa pekan terakhir, pada Jumat (29/3) lalu Xabi Alonso memutuskan bertahan di Bayer Leverkusen. Seperti diketahui, pelatih asal Spanyol ini dikaitkan dengan kursi pelatih Bayern Munich dan Liverpool, dua klub yang pernah dibelanya semasa bermain.
Keputusan ini sepintas terlihat logis, karena Leverkusen berpeluang juara Bundesliga Jerman dan DFB Pokal, plus masih bersaing di Liga Europa. Ditambah lagi, Die Werkself masih belum terkalahkan di berbagai ajang.
Tapi, keputusan Alonso ternyata tak lepas dari kritik, terutama dari pundit sepak bola Inggris seperti Richard Keys dan Joe Cole (eks pemain Chelsea dan Liverpool). Keduanya menganggap, eks pemain Real Madrid itu sudah melewatkan kesempatan emas untuk melatih klub besar.
Richard Keys bahkan tanpa basa-basi menyamakan performa hebat Bayer Leverkusen bersama Alonso seperti sensasi Leicester City di Liga Inggris musim 2015-2016. Tak cukup sampai disitu, sang pandit juga menyematkan julukan "Bayer Leicester-Kusen" untuk memperkuat opininya.
Secara kasat mata, ini adalah satu pendapat normal, terlepas dari kebiasaan media dan pandit sepak bola Inggris yang terkenal punya omongan superpedas. Pelatih yang berani melewatkan kesempatan emas seperti ini benar-benar terlihat sangat sembrono.
Padahal, kalau dilihat lagi, keputusan "tidak populer" eks maestro lini tengah Timnas Spanyol ini adalah satu langkah strategis, seperti halnya manuver taktis dalam permainan catur.
Sebagai pelatih muda yang sedang naik daun, Alonso tampaknya banyak belajar dari kasus yang pernah terjadi pada Andre Villas Boas, sekitar sedekade silam. Seperti halnya Alonso, pada awal kemunculannya di kompetisi level atas Liga Portugal, AVB juga mencuat sebagai salah satu pelatih muda berbakat di Eropa. Label itu makin kuat, tak lama setelah membawa FC Porto meraih aneka prestasi.
Pada musim tunggalnya di Estadio Do Dragao, pelatih kelahiran tahun 1977 itu sukses mengawinkan titel Liga Portugal, Taca de Portugal, dan Liga Europa musim 2010-2011.
Hebatnya, The Dragons sukses dibawanya mencatat rekor tak terkalahkan di liga. Sebuah capaian yang masih berpeluang dicatat Alonso bersama Bayer Leverkusen di Bundesliga Jerman musim 2023-2024.
Catatan gemilang pelatih asal Portugal itu lalu membawanya pindah ke Chelsea pada musim panas 2011. Dengan profilnya sebagai pelatih muda berbakat dan eks anggota staf kepelatihan Jose Mourinho, ditambah profil Chelsea sebagai tim ambisius, semua terlihat menjanjikan bagi kedua belah pihak.
Sayang, kegagalan Villas Boas dalam mengontrol ruang ganti dan ego pemain bintang senior membuat semua ekspektasi di awal tadi buyar. Performa The Blues merosot, dan AVB pun didepak. Ironisnya, sepeninggal sang pelatih, John Terry dkk malah sukses mengawinkan titel Liga Champions dan Piala FA di akhir musim 2011-2012.
Setelah gagal total di Chelsea, semua tak lagi sama buat eks pelatih Academica itu. Dari pelatih berbakat, statusnya langsung bergeser menjadi pelatih petualang, dengan catatan karier tambahan sebagai peserta balap reli.
Kiprah singkatnya di Liga Inggris bersama Tottenham Hotspur (2012-2013) dan Liga Super Tiongkok bersama Shanghai SIPG (2016-2017) berakhir dengan kegagalan, sementara petualangannya di Olympique de Marseille (Prancis, 2019-2021) berakhir dengan nuansa kontroversial.
Praktis, satu-satunya kiprah sukses AVB selepas dari FC Porto hanya terjadi saat melatih Zenit Saint Peter Petersburg antara tahun 2014-2016. Bersama klub raksasa Rusia itu, satu gelar Liga Rusia dan Piala Rusia mampu diraih.
Tapi, secara umum ia gagal mengubah "hype" dan label sebagai pelatih berbakat di Eropa, karena label itu malah menjadi satu tekanan berat yang membuatnya
tidak pernah bertahan lama sebagai pelatih di satu tim.
Kiprah kepelatihan Andre Villas Boas belakangan menjadi contoh kasus populer di sepak bola Eropa, yang menjadi satu rujukan untuk pelatih muda berbakat, khususnya dalam hal mengambil keputusan pindah ke klub dan liga bertekanan tinggi.
Kembali ke Xabi Alonso, keputusannya bertahan di BayArena menjadi satu strategi "permainan catur" yang cukup menarik. Pelatih kelahiran tahun 1981 ini berani menolak tawaran Bayern Munich dan Liverpool, karena namanya masuk daftar kandidat pelatih Real Madrid, jika Carlo Ancelotti hengkang setelah kontraknya tuntas tahun 2026 mendatang.
Diluar pertimbangan strategis ini, keputusan pelatih dari region Basque bertahan di Jerman juga menjadi strategi membangun dasar pengalaman melatih di kompetisi level atas liga top Eropa. Dengan cukup bekal pengalaman di level atas, termasuk dalam menghadapi tekanan tinggi, ia akan lebih siap naik level, ketika saatnya tiba.
Seperti diketahui, sebelum melatih Leverkusen, pengalaman melatih eks pemain Real Sociedad ini hanya melatih Tim B Real Sociedad di kompetisi kasta kedua dan ketiga La Liga Spanyol.
Jadi, dengan perencanaan serapi ini, Alonso tampaknya masih punya banyak stok jurus dan ajian untuk disajikan di Bayer Leverkusen, setidaknya dalam setahun ke depan.
Jika ia mampu meraih gelar juara di Bayer Leverkusen, baik musim ini maupun musim depan, daya tariknya sebagai seorang pelatih jenius bukan lagi "hype" sesaat dan Leverkusen bukan "Leicester City cabang Jerman", karena ia mampu membuat tim dengan modal terbatas berkembang pesat bahkan menjadi juara.
Akankah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H