Tahun 2024 baru bersiap menapak sepertiga jalan, tapi sudah memberi satu PR besar buat saya, terutama soal menjaga "kebiasaan" menulis. Meski sebenarnya bukan pertama kali terjadi, masalah yang datang tahun ini cukup menjengkelkan.
Penyebabnya bukan hanya datang dari gangguan kesehatan akibat cuaca ekstrem atau kesibukan lain, tapi dari faktor "burnout" akibat terlalu banyak mendengar sisi "overthinking" di sekitar.
Masalah gangguan kesehatan akibat cuaca ekstrem atau kesibukan sendiri memang masih terbilang wajar. Ini faktor sangat umum yang hampir semua orang (setidaknya pernah) mengalami pada saat tertentu.
Soal adanya gangguan akibat "burnout" sendiri wajar (pada titik tertentu) karena ada saatnya orang perlu "healing" untuk isi ulang energi, seperti ponsel yang perlu diisi daya saat "lowbat". Setelah semuanya beres dan siap, tinggal dilanjutkan saja.
Tapi, pada titik tertentu, burnout ini adalah sebentuk gangguan menjengkelkan. Khususnya jika ia datang dari gangguan eksternal.
Pada kasus saya akhir-akhir ini, gangguan "burnout" datang dari tingkah laku menjurus toksik dari seorang teman lama.
Awalnya, saya hanya berusaha menjadi teman seperti biasa, karena dia memang dalam situasi sedang membutuhkan dukungan moral. Berhubung kami sudah kenal lama, saya merasa semua akan berjalan seperti yang sudah-sudah.
Tapi, dalam perjalanannya, momen yang sebenarnya sudah tidak asing lama-lama jadi terasa mengerikan. Porsi didengar-mendengar yang seharusnya berimbang (atau minimal beda tipis) dan menciptakan "perputaran energi" secara sirkuler, sehingga menjadi satu momen "healing" secara psikologis, malah berubah jadi satu siksaan.
Penyebabnya, interaksi yang berjalan cenderung dominan satu arah, dan lawan bicara saya cenderung memposisikan diri lebih "tinggi" karena latar belakang akademis dan tingkat intelegensinya.
Ketika ada sedikit ruang untuk bertukar posisi, ternyata itu malah menjadi kurang sehat, karena apa yang seharusnya hanya perlu didengar, malah terkesan dihakimi, termasuk ketika saya gantian bercerita soal preferensi pribadi. Ditambah lagi, ruang itu cukup terbatas.
Dia masih menempatkan diri di posisi lebih tinggi dan paling benar. Setidaknya sampai saya menjelaskan situasi realitas yang sangat berbeda dengan pandangan idealnya.
Ia bahkan tidak meminta maaf sama sekali, ketika tanpa basa-basi menyinggung hal-hal sensitif yang tidak seharusnya dihakimi secara sepihak, dengan hanya memakai standar berdasarkan sudut pandang dan pengetahuan pribadi.
Entah karena memang dia terlalu pintar, kotak empatinya rusak, atau saya yang memang terlalu bodoh. Mungkin, ketiganya memang berpadu-padan secara membagongkan.
Hal ini berlangsung, setidaknya sampai saya terpaksa harus menjelaskan situasi berdasarkan sudut pandang yang berlaku secara umum, dan berbeda dengan bayangannya, yang pada titik tertentu cenderung "overthinking".
Dengan model interaksi seperti ini, bahkan di media sosial, saya merasa energi lebih cepat terkuras. Memang, jam tidur jadi lebih banyak, tapi tingkat produktivitas dan kreativitas jadi kacau.
Perlu waktu sampai saya bisa kembali merasa siap, karena paduan interaksi yang tidak seimbang, ditambah "overthinking" yang ada benar-benar toksik.
Meski bukan penyakit, "overthinking" ternyata bisa menular dan berdampak negatif, karena mengganggu pikiran.
Apa boleh buat, ide-ide tulisan yang sudah ada di kepala jadi terbengkalai dan ada yang tak jadi ditulis karena terlanjur basi.
Satu-satunya yang bisa saya syukuri di sini hanya dukungan dan masukan tulus dari teman-teman yang suportif. Dari mereka, ada keberanian untuk mengakui, saya tidak sedang baik-baik saja, mulai bersikap lebih lugas, dan memberi ruang pada diri sendiri untuk bebas bersuara di tulisan ini.
Selain untuk tujuan personal, secara teknis ini sesuai dengan saran psikolog klinis yang pernah saya jumpai, untuk menjadikan menulis sebagai satu sarana terapi, terutama saat ada gangguan psikologis atau pikiran.
Bukan untuk FOMO soal isu kesehatan mental, tapi supaya pikiran tetap waras, dengan melakukan aktivitas sesuai saran  tenaga ahli. Lagipula, orang yang menebar "racun" tidak akan menggubris permintaan tolong orang yang terpapar, sampai ia sendiri kena senjata makan tuan.
Jujur saja, saya sendiri juga mulai merasa tidak nyaman, ketika "dominasi" ini coba diterapkan juga dalam ide menulis. Seperti lazimnya orang pintar (tapi bukan paranormal) ada begitu banyak ide di kepalanya, bersama referensi jurnal ilmiah dan pandangan idealis yang sebenarnya bisa dieksekusi.
Masalahnya, ketika saya coba menuliskan  ide itu dengan memakai referensi jurnal ilmiah, terlalu banyak energi yang dibutuhkan. Maklum, bidang yang dibahas terbilang "kurang umum".
Secara proses, mulai dari memilah kalimat kutipan, menginterpretasikan ke bahasa yang lebih mudah dipahami pembaca, sampai merangkainya ke dalam tulisan, semuanya masih dalam kendali. Seperti proses menulis pada umumnya.
Tapi, ketika koreksi atau masukan yang diberikan kurang objektif, disitulah kekacauan dimulai. Titik temunya sulit dicapai, karena yang satu memikirkan idenya secara teori (dan idealis) tanpa memikirkan pemahaman audiens, sementara satunya lagi memikirkan pemahaman audiens, dengan tetap memastikan pesan utama bisa tersampaikan dan menghadirkan kesepahaman.
Perbedaan ini lalu menghasilkan satu upaya darinya, untuk coba "mendikte" saya secara dominan. Mulai dari ide, platform menulis, sampai bahasanya.
Kalau dia punya cukup banyak pengalaman, khususnya dalam hal publikasi tulisan yang dibaca khalayak di platform umum, mungkin semua saran itu bisa coba dilakukan.
Masalahnya, karena saran yang diberikannya lebih banyak berisi teori dan pandangan idealnya, sudut pandang tulisan yang dihasilkan akan terkesan "merendahkan" pembaca, karena cenderung menganggap mereka "tidak tahu apa-apa".
Disadari atau tidak, sudut pandang semacam ini adalah satu hal yang ikut andil membentuk rendahnya budaya membaca (apalagi menulis) di negara ini.
Baru mau mulai saja sudah dianggap serba "rendah", jangan harap akan mendapat hasil terbaik.
Literasi masih dipandang sebatas "membaca" dan "menulis" untuk diri sendiri, selagi pengalaman terapan (bahkan yang sudah bertahun-tahun sekalipun) kadang dianggap seperti sampah.
Pada akhirnya, saya merasa "cukup" dengan semua kekacauan ini, setelah teman saya melempar ide tulisan bertema akademis untuk saya tulis, tapi berkelit saat saya lempar balik ide itu untuk dia tulis.
Kalau seorang "intelek" (atau apapun sebutannya) saja bahkan tak berani bersuara di kandang sendiri, tidak banyak yang bisa diharapkan. Pantas saja, negara ini masih punya banyak koleksi menara gading.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H