Jujur saja, saya sendiri juga mulai merasa tidak nyaman, ketika "dominasi" ini coba diterapkan juga dalam ide menulis. Seperti lazimnya orang pintar (tapi bukan paranormal) ada begitu banyak ide di kepalanya, bersama referensi jurnal ilmiah dan pandangan idealis yang sebenarnya bisa dieksekusi.
Masalahnya, ketika saya coba menuliskan  ide itu dengan memakai referensi jurnal ilmiah, terlalu banyak energi yang dibutuhkan. Maklum, bidang yang dibahas terbilang "kurang umum".
Secara proses, mulai dari memilah kalimat kutipan, menginterpretasikan ke bahasa yang lebih mudah dipahami pembaca, sampai merangkainya ke dalam tulisan, semuanya masih dalam kendali. Seperti proses menulis pada umumnya.
Tapi, ketika koreksi atau masukan yang diberikan kurang objektif, disitulah kekacauan dimulai. Titik temunya sulit dicapai, karena yang satu memikirkan idenya secara teori (dan idealis) tanpa memikirkan pemahaman audiens, sementara satunya lagi memikirkan pemahaman audiens, dengan tetap memastikan pesan utama bisa tersampaikan dan menghadirkan kesepahaman.
Perbedaan ini lalu menghasilkan satu upaya darinya, untuk coba "mendikte" saya secara dominan. Mulai dari ide, platform menulis, sampai bahasanya.
Kalau dia punya cukup banyak pengalaman, khususnya dalam hal publikasi tulisan yang dibaca khalayak di platform umum, mungkin semua saran itu bisa coba dilakukan.
Masalahnya, karena saran yang diberikannya lebih banyak berisi teori dan pandangan idealnya, sudut pandang tulisan yang dihasilkan akan terkesan "merendahkan" pembaca, karena cenderung menganggap mereka "tidak tahu apa-apa".
Disadari atau tidak, sudut pandang semacam ini adalah satu hal yang ikut andil membentuk rendahnya budaya membaca (apalagi menulis) di negara ini.
Baru mau mulai saja sudah dianggap serba "rendah", jangan harap akan mendapat hasil terbaik.
Literasi masih dipandang sebatas "membaca" dan "menulis" untuk diri sendiri, selagi pengalaman terapan (bahkan yang sudah bertahun-tahun sekalipun) kadang dianggap seperti sampah.
Pada akhirnya, saya merasa "cukup" dengan semua kekacauan ini, setelah teman saya melempar ide tulisan bertema akademis untuk saya tulis, tapi berkelit saat saya lempar balik ide itu untuk dia tulis.
Kalau seorang "intelek" (atau apapun sebutannya) saja bahkan tak berani bersuara di kandang sendiri, tidak banyak yang bisa diharapkan. Pantas saja, negara ini masih punya banyak koleksi menara gading.