Dalam beberapa tahun terakhir, PSSI cukup gencar menelusuri pemain diaspora Indonesia di dalam dan luar negeri. Langkah ini semakin intens, ketika Kementerian Pemuda dan Olahraga membentuk Bidang Diaspora dan Kepemudaan.
Tentu saja, Kemenpora menggunakan rencana mencari atlet diaspora untuk berbagai cabang olahraga, termasuk sepak bola. Kemenpora sendiri pernah menyebutkan, ada sekitar 9 juta diaspora Indonesia, yang potensinya bisa diberdayakan.
Maka, normal kalau PSSI akhirnya ikut memanfaatkan. Kebetulan, FIFA sendiri mengizinkan adanya pemain diaspora asing.
Dengan catatan, garis keturunan dari negara yang dituju maksimal berada di generasi kakek atau nenek si pemain. Seperti pada kasus Jordi Amat (kelahiran Spanyol) yang neneknya berasal dari Indonesia.
Hasilnya, pemain blasteran seperti Jay Idzes, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, dan Justin Hubner mengisi skuad Timnas Indonesia. Sebelumnya sudah ada Sandy Walsh, Elkan Baggott, Jordi Amat, Ivar Jenner, dan Rafael Struick.
Diluar pro-kontra yang ada, termasuk sentimen "lokal pride" dan kawan-kawan, keberadaan pemain diaspora sendiri memang sudah menjadi fenomena wajar, sekaligus risiko dasar di era globalisasi.
Di Indonesia saja, perkawinan pasangan beda negara asal bahkan masih sering masuk berita, seperti halnya kiprah diaspora Indonesia di luar negeri, termasuk mereka yang jadi pesepakbola kelas dunia.
Sudah ada begitu banyak pemberitaan bernada overproud, yang menyorot kiprah diaspora Indonesia liga top Eropa, seperti pada kasus Radja Nainggolan (Belgia) dan Gio Van Bronckhorst (Belanda).
Di sepak bola, tim nasional negara-negara Amerika Latin punya pemain-pemain bintang keturunan imigran Eropa, Negara-negara Afrika punya pemain-pemain yang lahir dan besar di Eropa.
Belakangan banyak juga tim kuat Eropa yang punya pemain keturunan imigran asing dari berbagai wilayah. Jadi, langkah PSSI dan Kemenpora ini bukan hal baru.
Sebagai contoh, PZPN (PSSI-nya Polandia) bahkan menggunakan cara seperti yang dilakukan PSSI, untuk menjaring pemain diaspora Polandia yang dinilai potensial.
Padahal, secara prestasi, Timnas Polandia terbilang lumayan. Di Piala Dunia 2022, Robert Lewandowski dkk mampu lolos ke babak perdelapan final.
Dari nama-nama yang pernah terjaring, ada Miroslav Klose dan Lukas Podolski yang memilih Timnas Jerman. Ada juga Matty Cash (blasteran Inggris-Polandia) yang akhirnya memilih membela Polandia dan ikut bermain di Piala Dunia 2022.
Meski di Eropa sendiri sentimen ekstrem "lokal pride" dan rasisme kadang masih jadi masalah, toh nama-nama pemain diaspora tetap ada dari tahun ke tahun. Bahkan, ada juga yang mampu menghadirkan gelar juara dunia, seperti Jerman (2014) dan Prancis (2018) yang tampak kosmopolitan.
Memang, dalam konteks Indonesia, prosesnya tidak semulus yang lain, karena ada aturan "kewarganegaraan ganda terbatas" dalam hukum yang berlaku di Indonesia.
Tapi, dengan adanya ketentuan FIFA dan kebijakan pemerintah, lewat Kemenpora, proses alih kewarganegaraan pemain diaspora Indonesia jadi tidak serumit naturalisasi, yang antara lain mengharuskan seseorang tinggal di Indonesia selama beberapa tahun.
Kalaupun ada hambatan, biasanya itu lebih karena faktor birokrasi yang agak berbelit. Satu hal yang sudah jadi rahasia umum di Indonesia.
Sebagai bagian dari globalisasi, keberadaan pemain diaspora adalah satu fenomena umum, yang bisa digunakan untuk melihat, bagaimana situasi sebenarnya, dari sepak bola nasional satu negara.
Di negara yang secara sistem dan prestasi sudah oke, keberadaan pemain diaspora adalah satu tambahan opsi, untuk memperkaya kedalaman kualitas.
Ada sistem yang sudah berjalan dengan baik sejak lama dan rutin diperbarui sesuai perkembangan dan kebutuhan. Jadi, kualitas pemain yang dihasilkan akan semakin "unik" karena pemain diaspora biasanya punya atribut khas, berdasarkan latar belakang seperti ras, suku dan budaya masing-masing, yang membuatnya semakin berwarna.
Sementara itu, di negara yang sistem pembinaan pemain mudanya tidak berkembang atau tidak didukung sistem yang baik, keberadaan pemain diaspora adalah satu cara mudah membangun tim kuat dan mengejar target prestasi.
Tak perlu repot membina seorang pemain selama bertahun-tahun, cukup ambil yang sudah jadi. Begitu juga dengan cabang olahraga lain, yang penting ada darah Indonesia-nya.
Di satu sisi, ini menjadi satu gambaran jelas, tentang kemandekan satu sistem pembinaan pemain yang memang sudah tidak berkembang menjadi lebih baik. Sebenarnya sistem ini masih bisa menghasilkan pemain bagus, tapi level kualitasnya cenderung menurun.
Fenomena kemandekan ini adalah satu hal, yang tampaknya disadari oleh PSSI dan Kemenpora, sehingga potensi diaspora lalu dilirik.
Kebetulan, eksistensi diaspora Indonesia memang cukup berkelanjutan, karena perkawinan pasangan campuran Indonesia-WNA hampir selalu ada di tiap generasi, dan ada rangkaian kisah sejarah panjang yang membangunnya.
Secara hasil akhir, sepanjang itu membawa hasil positif, seperti dua kemenangan beruntun atas Vietnam di Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, bulan Maret 2024, seharusnya tak ada masalah. Apalagi, tingkat kesabaran di sepak bola nasional terbilang tipis dalam hal membangun sistem atau rencana jangka panjang.
Jadi, jika kebijakan mencari pemain diaspora Indonesia masih berlanjut, itu tak jadi masalah. Selama ada standar kualitas baku yang jelas, itu masih jauh lebih baik dari sebuah proses yang jalan di tempat.
Sebagian pihak menganggap keberadaan pemain diaspora menghambat pemain lokal, tapi kalau boleh dilihat dengan perspektif lain, ini adalah satu langkah ekstrem PSSI, diluar orientasi instan yang jadi kebiasaan mereka.
Bukan dalam membangun sistem untuk jangka panjang, tapi membentuk mental pemain lokal jadi lebih tangguh, supaya berani keluar dari zona nyaman. Seperti diketahui, ini sudah lama jadi "penyakit mental" pemain lokal di Indonesia, dan diperparah kebobrokan sistem yang ada.
Dengan merusak sistem bobrok dan penyakit mental yang sudah kronis, ada kesempatan membangun sistem baru untuk jadi lebih baik. Dengan catatan, perspektif ini bisa disadari bersama.
Terlepas dari orientasi instan yang terlibat dari luar, masalah yang sudah kronis sejak dari pikiran memang butuh langkah ekstrem untuk diperbaiki.
Dengan kata lain, keberadaan pemain diaspora, dengan segala pro-kontra dan situasi di sekelilingnya perlu dilihat secara utuh, supaya tidak menghasilkan mentalitas kerdil, dan sudut pandang "katak dalam tempurung".
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H