Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

City, Chelsea, dan Harga Mahal Sebuah Kemewahan

24 Maret 2024   06:35 Diperbarui: 30 Maret 2024   06:32 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen saat Manchester City berhasil menjadi juara Liga Champions musim 2022/23 setelah menang lawan Chelsea, Minggu (21/5/2023). FOTO: AP/JON SUPER via KOMPAS.id

Dalam dua dekade terakhir, Manchester City dan Chelsea telah menghadirkan satu alur cerita yang mengubah lanskap sepak bola Eropa. Keduanya sama-sama pernah terjerat masalah keuangan serius, dan menjadi klub yang tak lagi sama, setelah sama-sama dibeli taipan tajir.

Chelsea yang menikmati kejayaan bersama Roman Abramovich (2003-2022) bisa dibilang menjadi "pengubah tatanan" paling awal di Inggris dan Eropa, karena berani belanja jor-joran. Berkat sokongan dana melimpah dari juragan minyak asal Rusia itu, mereka leluasa belanja pemain bintang atau mendatangkan pelatih top tanpa pikir panjang.

Secara prestasi, hasilnya memang luar biasa. Semua trofi yang bisa diraih, termasuk 2 trofi Liga Champions dan 2 trofi Liga Europa mampu diamankan di era "The Roman Emperor".

Sayangnya, era keemasan ini terpaksa harus berakhir, akibat imbas konflik Rusia versus Ukraina. Kepemilikan klub lalu beralih ke tangan Todd Boehly (pebisnis Amerika Serikat) dan kolega, yang membuat klub asal kota London ini menjalani satu periode transisi penuh turbulensi, meski sudah menggelontorkan dana transfer lebih dari 1 miliar pounds sejak musim panas 2022.

Cerita sejenis, dalam versi lebih ekstrem juga hadir di sudut lain Inggris, tepatnya di kota Manchester, ketika Sheikh Mansour (Uni Emirat Arab) mengakuisisi Manchester City tahun 2008.

Saya menyebutnya sejenis, karena dampak yang dihasilkan secara prestasi dan daya beli pemain kurang lebih sama. Begitu juga dengan sokongan "uang minyak" yang melimpah.

(Thesun.co.uk)
(Thesun.co.uk)

Titik puncak prestasi Manchester City hadir di musim 2022-2023, saat tim asuhan Pep Guardiola mengawinkan titel Liga Inggris, Liga Champions, dan Piala FA.

Tapi, situasi di Manchester City terbilang lebih ekstrem, karena sosok bos yang terlibat di Etihad Stadium bukan sebatas "oligarki" atau "orang dekat" petinggi suatu negara, tapi "orang dalam" sekaligus bagian dari struktur kekuasaan suatu negara itu sendiri, karena merupakan anggota keluarga penguasa.

Seperti diketahui, Sheikh Mansour saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden merangkap Wakil Perdana Menteri Uni Emirat Arab. Selain itu, dirinya juga menjadi bos Bank Sentral Uni Emirat Arab dan ADNOC (Pertamina-nya Uni Emirat Arab).

Diluar latar belakang Sheikh Mansour dan gelontoran fulusnya, perubahan nasib Manchester City juga memicu satu tren baru, berupa "multiclub ownership" lewat City Football Group (CFG) yang antara lain ditiru juga oleh waralaba Red Bull.

Selain "multiclub ownership", langkah Sheikh Mansour di Manchester City lalu ditiru juga oleh penguasa Qatar, tepatnya saat Nasser Al Khelaifi membeli PSG tahun 2011. 

(Sportingnews.com)
(Sportingnews.com)

Langkah ini lalu berkembang menjadi praktek "sportwashing", yang antara lain membantu Qatar terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Manuver  Qatar belakangan diikuti juga oleh Arab Saudi, yang membeli klub Newcastle United, mencanangkan proyek Saudi Pro League, dan terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034.

Jika melihat kembali situasi Chelsea dan Manchester City, mungkin semuanya terlihat menyenangkan. Keduanya sama-sama berani belanja royal dan pernah memecahkan rekor transfer pemain termahal Liga Inggris, dan punya materi pemain yang sebenarnya oke secara umum.

Ternyata dibalik tampilan luar yang menyenangkan ini, ada sisi rapuh berupa kinerja finansial klub yang cukup keteteran mencatat profit. Manchester City baru mampu mencatat profit pertama mereka (sebesar 10,7 juta pounds) sejak era Abu Dhabi, tepatnya pada musim 2014-2015.

Memang, dalam dua tahun terakhir, klub asuhan Pep Guardiola ini mencatat keuntungan lebih dari 120 juta pounds, tapi catatan 115 pelanggaran aturan finansial Liga Inggris membuat nasib Manchester Biru terancam degradasi

Di London, Chelsea baru mencatat profit pertama mereka di era Abramovich pada tahun 2012, atau 9 tahun sejak dibeli sang taipan Rusia. Itupun dengan jumlah yang terbilang minimalis untuk ukuran klub yang kala itu juara Liga Champions Eropa, yakni 1,4 juta pounds.

Setelah era Roman Abramovich selesai, kinerja keuangan The Blues sendiri masih loyo, karena dalam musim 2022-2023 mereka mencatat kerugian 90 juta pounds. Sebelumnya, pada musim 2021-2022, mereka rugi 121 juta pounds.

Profit belakangan menjadi sulit dikejar Chelsea, karena performa di atas lapangan jauh panggang dari api. Jangankan meraih trofi, lolos ke Eropa saja sulit.

Malah, Si Biru sempat kena denda 10 juta euro (tahun 2023, akibat laporan keuangan yang bermasalah. Lebih jauh, mereka berpeluang terdegradasi jika terbukti melakukan penyimpanan keuangan di era Abramovich.

Kinerja finansial seperti ini sepintas mirip dengan yang sempat jadi fenomena umum di usaha "startup" sebelum terjadinya fenomena "bubble burst" terjadi: ada suntikan dana melimpah dari investor, tapi kinerja keuangannya payah.

Karena potensi kerusakan inilah, Liga Inggris belakangan cukup gencar memeriksa aspek finansial klub, dengan klub seperti Nottingham Forest dan Everton sudah kena sanksi pengurangan poin.

Dari yang sejauh ini berjalan, Chelsea dan Manchester City menjadi kasus paling besar sekaligus menyeramkan. Kalau mereka sampai terdegradasi, ini akan jadi satu cerita tragis. Apalagi, kalau semua gelar mereka dicabut.

Di sepak bola Britania Raya, kejadian ini sudah pernah terjadi di Skotlandia tahun 2012. Kala itu, Glasgow Rangers didegradasi ke kasta keempat, setelah dinyatakan bangkrut karena tak mampu melunasi hutang  sebesar 134 juta pounds.

(Skysports.com)
(Skysports.com)
Alhasil, rival bebuyutan Glasgow Celtic ini harus mulai lagi dari bawah. Rekor 54 gelar juara Liga Skotlandia (kala itu) tak bisa jadi jaminan.

Gers baru bisa kembali ke kasta tertinggi, setelah promosi musim 2016-2017. Setelahnya, mereka berprogres dengan meraih prestasi demi prestasi, seperti juara Liga Skotlandia (2020-2021), lolos ke final Liga Europa dan juara Piala Skotlandia (2021-2022), dan yang paling gres juara Piala Liga Skotlandia (2023-2024).

Secara kasus penyebab, kasus Rangers memang berbeda dengan Manchester City dan Chelsea, karena murni disebabkan oleh krisis keuangan akibat salah urus, bukan pelanggaran aturan secara berulang.

Kalau fokus pada sektor kinerja keuangan, kerugian menumpuk Chelsea, cerita tragis Rangers, dan masalah "ratusan kasus" Manchester City menunjukkan satu benang merah.

Mereka sama-sama masih (atau setidaknya pernah) punya kemewahan bisa belanja dengan dana besar, membangun tim yang mengejar trofi juara, dan tampil di kompetisi antarklub Eropa.

Tapi, mereka tidak benar-benar memikirkan keberlanjutan, yang dalam hal ini bisa didapat dari profitabilitas klub dan catatan bebas utang. Sebesar apapun sokongan dana dari pemilik klub, itu hanya akan jadi "bom waktu" kalau kinerja finansial klub memble.

Jika klub juga menjadi sarana melakukan tindakan menyimpang (pencucian uang atau sejenisnya) ini juga bisa jadi bumerang. Ketika semua terbongkar, habis sudah. Perlu waktu tidak sebentar untuk diperbaiki. Itupun kalau bisa diperbaiki.

Karena itulah, satu kemewahan yang didapat bukan dari proses yang sehat (mulai dari bawah atau semacamnya) tidak pernah punya keberlanjutan, karena memang tidak memikirkan keberlanjutan dari awal. Kalaupun ada dampak berkelanjutan, itu hanya berupa kerusakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun