Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

City, Chelsea, dan Harga Mahal Sebuah Kemewahan

24 Maret 2024   06:35 Diperbarui: 30 Maret 2024   06:32 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen saat Manchester City berhasil menjadi juara Liga Champions musim 2022/23 setelah menang lawan Chelsea, Minggu (21/5/2023). FOTO: AP/JON SUPER via KOMPAS.id

Diluar latar belakang Sheikh Mansour dan gelontoran fulusnya, perubahan nasib Manchester City juga memicu satu tren baru, berupa "multiclub ownership" lewat City Football Group (CFG) yang antara lain ditiru juga oleh waralaba Red Bull.

Selain "multiclub ownership", langkah Sheikh Mansour di Manchester City lalu ditiru juga oleh penguasa Qatar, tepatnya saat Nasser Al Khelaifi membeli PSG tahun 2011. 

(Sportingnews.com)
(Sportingnews.com)

Langkah ini lalu berkembang menjadi praktek "sportwashing", yang antara lain membantu Qatar terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Manuver  Qatar belakangan diikuti juga oleh Arab Saudi, yang membeli klub Newcastle United, mencanangkan proyek Saudi Pro League, dan terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034.

Jika melihat kembali situasi Chelsea dan Manchester City, mungkin semuanya terlihat menyenangkan. Keduanya sama-sama berani belanja royal dan pernah memecahkan rekor transfer pemain termahal Liga Inggris, dan punya materi pemain yang sebenarnya oke secara umum.

Ternyata dibalik tampilan luar yang menyenangkan ini, ada sisi rapuh berupa kinerja finansial klub yang cukup keteteran mencatat profit. Manchester City baru mampu mencatat profit pertama mereka (sebesar 10,7 juta pounds) sejak era Abu Dhabi, tepatnya pada musim 2014-2015.

Memang, dalam dua tahun terakhir, klub asuhan Pep Guardiola ini mencatat keuntungan lebih dari 120 juta pounds, tapi catatan 115 pelanggaran aturan finansial Liga Inggris membuat nasib Manchester Biru terancam degradasi

Di London, Chelsea baru mencatat profit pertama mereka di era Abramovich pada tahun 2012, atau 9 tahun sejak dibeli sang taipan Rusia. Itupun dengan jumlah yang terbilang minimalis untuk ukuran klub yang kala itu juara Liga Champions Eropa, yakni 1,4 juta pounds.

Setelah era Roman Abramovich selesai, kinerja keuangan The Blues sendiri masih loyo, karena dalam musim 2022-2023 mereka mencatat kerugian 90 juta pounds. Sebelumnya, pada musim 2021-2022, mereka rugi 121 juta pounds.

Profit belakangan menjadi sulit dikejar Chelsea, karena performa di atas lapangan jauh panggang dari api. Jangankan meraih trofi, lolos ke Eropa saja sulit.

Malah, Si Biru sempat kena denda 10 juta euro (tahun 2023, akibat laporan keuangan yang bermasalah. Lebih jauh, mereka berpeluang terdegradasi jika terbukti melakukan penyimpanan keuangan di era Abramovich.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun