Sebelumnya, kubu Bajul Ijo sudah melayangkan surat protes resmi ke PSSI, terkait insiden berbahaya yang dialami Bruno Moreira tersebut.
Terlepas dari berbagai sudut pandang yang ada, baik dari kubu PSS Sleman maupun Persebaya Surabaya, pelanggaran horor yang dilakukan Harmisi secara jujur menunjukkan, seberapa bobrok sepak bola nasional.
Secara kasat mata, seorang Wahyudi Hamisi mungkin akan dianggap sebagai biang kerok atau semacamnya. Tapi, kalau mau dilihat lebih jauh, sebenarnya ini adalah buah dari satu sistem yang bobrok, bahkan sejak masih dalam pikiran, dan wajar jika hasilnya pun tak beda jauh.
Atas nama "profesionalisme", melanggar lawan, kalau perlu sampai cedera parah, menjadi satu hal yang dinormalisasi. Ada yang bahkan tanpa malu menyebut ini sebagai bagian dari strategi.
Saking dianggap normalnya, sampai ada anekdot "bola boleh lewat, tapi orangnya tidak". Dari anekdot ini juga, ada label keliru dalam wujud cap "pemain keras" atau semacamnya.
Padahal, "main keras" seharusnya identik dengan gaya main lugas, sedikit provokasi, tapi tak sampai membahayakan lawan dengan potensi dampak sangat fatal.
Di sepak bola Italia, taktik ini memang ada, dan dikenal dengan sebutan "Furbizia" alias "seni berbuat culas". Tapi, sekotor-kotornya Furbizia, ia tak sampai menamatkan karier atau membahayakan nyawa pemain lawan dengan seketika,
Cedera sendiri memang jadi satu risiko umum olahraga intens seperti sepak bola, tapi jika itu berasal dari insiden pelanggaran yang dampaknya sampai bisa membahayakan nyawa, jelas ada yang salah.
Apa sepak bola di Indonesia memang sudah kawin silang dengan olahraga bela diri?
Di sisi lain, insiden horor yang dilakukan Hamisi juga menunjukkan, seberapa fatal kekeliruan cara pandang, khususnya dalam konteks sepak bola sebagai sebuah olahraga.
Disadari atau tidak, "kemenangan" atau hasil akhir seperti sudah dipatok jadi tujuan utama yang harus dicapai. Jadi, normal kalau pelanggaran keras bahkan brutal, masih umum ditemui, dari kompetisi kasta tertinggi sampai paling bawah.