Dalam sepak bola, kata "Galacticos" awalnya menjadi label untuk proyek ambisius Real Madrid di era Florentino Perez. Alhasil, klub raksasa Spanyol ini pun mendapat julukan tambahan Los Galacticos.
Awalnya, proyek ini menjadi ciri khas Si Putih di paruh pertama era 2000-an. Dengan mengumpulkan pemain top sekelas David Beckham, Zidane, dan Ronaldo, mereka menjadi tim bertabur bintang yang terlihat menjanjikan.
Meski Los Galacticos angkatan Beckham dkk tak terlalu sukses secara prestasi, mereka cukup sukses dalam hal popularitas dan bisnis. Jadi, tetap menghasilkan keuntungan besar.
Di masa depan, proyek ini disempurnakan lagi oleh Perez, ketika klub ibu kota Spanyol mendatangkan Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Vinicius Junior hingga Jude Bellingham.Â
Dengan kriteria yang semakin spesifik dan ambisi besar meraih trofi, proyek Los Galacticos bukan lagi satu rencana instan, karena berorientasi jangka panjang, dengan pemain muda kelas top sebagai target transfer utama.
Daftar Galactico Real Madrid hampir pasti bertambah, karena mereka sudah sepakat memboyong Kylian Mbappe secara gratis.
Berangkat dari cerita sukses proyek Los Galacticos di Madrid, muncul juga proyek berkonsep mirip di klub lain, terutama klub-klub yang dipimpin raja minyak.
Di Inggris, ada Chelsea yang sempat punya tim kuat bertabur bintang kala dipimpin Roman Abramovich (Rusia). Ada juga Manchester City yang belakangan mendominasi Liga Inggris dan mempunyai tim mewah berkat guyuran fulus melimpah dari Sheikh Mansour (Uni Emirat Arab).
Di Eropa daratan, ada Paris Saint Germain, yang sedekade terakhir mendominasi Ligue 1 Prancis, tepatnya sejak dibeli Nasser Al Khelaifi (Qatar) tahun 2011.
Seperti Chelsea dan Manchester City, PSG juga membangun tim bertabur bintang, dengan pemain ikonik macam Thiago Silva, Edinson Cavani, dan Zlatan Ibrahimovic datang bersama pelatih-pelatih top sekelas Carlo Ancelotti, Thomas Tuchel sampai Luis Enrique.
Mereka bahkan masih memegang rekor transfer pemain termahal dunia, kala memboyong Neymar dari Barcelona seharga 222 juta euro tahun 2017.
Langkah gila-gilaan Les Parisiens juga sempat jadi sorotan, ketika mendatangkan Lionel Messi, Sergio Ramos dan Gianluigi Donnarumma sekaligus di musim panas 2021. Meski datang secara gratis, para bintang itu menikmati paket gaji besar.
Ada juga Achraf Hakimi yang belakangan menjadi pilar penting Timnas Maroko, saat melaju sampai ke semifinal Piala Dunia 2022 di Qatar.
Kalau hanya melihat dari prestasi di dalam negeri, PSG memang sukses menjadi Los Galacticos versi Prancis. Tak ada tim yang mampu menandingi kekuatan tim Kota Mode, karena kalau ada pasti langsung digembosi.
Kasus transfer Kylian Mbappe dari AS Monaco (2017) tak lama setelah Les Monagasques juara Ligue 1 dan menjadi semifinalis Liga Champions menjadi contoh paling terang.
Hanya saja, meski kaya raya, PSG tak punya arah jelas seperti Chelsea dan Manchester City. Mereka seperti mentok di level domestik, tanpa bisa naik level di Liga Champions Eropa.
Alhasil, di saat Manchester City sudah meraih 1 trofi Liga Champions dan Chelsea 2 kali juara Liga Champions, klub ibu kota Prancis ini masih penasaran, karena belum kunjung pecah telur.
Ironisnya, ide Los Galacticos versi Prancis justru berakhir dengan kegagalan total, setelah satu per satu bintang tim hengkang. Messi pindah ke Inter Miami (Amerika Serikat), Ramos mudik ke Sevilla (Spanyol) sementara Neymar dijual rugi ke Al Hilal seharga 90 juta euro.
Gambaran gagal ini semakin sempurna, setelah Kylian Mbappe memutuskan pergi setelah kontraknya tuntas musim panas 2024. Tak ada lagi Los Galacticos cabang Prancis, karena pasak masih lebih besar daripada tiang.
Ditambah lagi, selama konsep Los Galacticos ini berjalan, klub cukup banyak disorot karena gejolak ruang ganti dan masalah ego pemain bintang. Satu penyakit khas tim bertabur bintang.
Berhubung aturan Financial Fair Play UEFA belakangan sangat ketat, klub finalis Liga Champions musim 2019-2020 ini mau tak mau harus mengubah rencana proyek olahraga klub.
Momentumnya kebetulan pas, karena dengan kepergian Mbappe, klub punya ruang bebas cukup besar secara finansial. Hanya saja, mereka akan lebih berfokus pada rekrutmen pemain muda.
Indikasi ini sudah terlihat di bursa transfer Januari 2024, dengan 2 talenta muda Brasil mendarat di Parc Des Princes. Lucas Beraldo (20) diboyong dari Sao Paulo sebagai penerus potensial Marquinhos di lini belakang, bersamaan dengan Gabriel Moscardo (18) dari Corinthians, gelandang yang diplot sebagai pengganti Marco Verratti yang hengkang ke Al Arabi (Qatar).
Sebelumnya, sudah ada Xavi Simmons (20) yang dibeli kembali dari PSV Eindhoven dan Warren Zare-Emery (17) yang promosi ke tim utama. Jelas, ada orientasi jangka panjang di sini.
Terlepas dari kegagalan yang sudah terjadi di masa lalu, manajemen PSG tampaknya ingin membangun mental bertanding para pemain muda, supaya bisa kompetitif di Liga Champions.
Masalah mental sendiri memang jadi penyakit PSG di Eropa, karena meski bisa unggul di fase grup, tim ini kerap kehabisan bensin di fase gugur.
Kekurangan ini membuat mereka cukup tertinggal dari Chelsea dan Manchester City, yang sudah lebih dulu memulai proses membangun mental bertanding di tingkat Eropa dan menuai sukses.
Menariknya, proyek Los Galacticos yang gagal di Paris menunjukkan, punya tim bertabur bintang bukan jaminan prestasi. Sehebat apapun kemampuannya, jika tak mampu bermain kompak sebagai tim, para bintang ini malah bisa jadi titik lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H