Final Carabao Cup memang sudah tuntas akhir pekan lalu, dengan gol tunggal Virgil Van Dijk memastikan Liverpool berjaya di Wembley, tapi ada sebuah kontradiksi yang  juga terlihat di sini, khususnya dari bagaimana pendekatan Liverpool dan Chelsea dalam membangun tim.
Pada dasarnya, diluar urusan bisnis, kedua tim sama-sama punya ide jangka panjang, dan mempunyai sebuah rencana proyek olahraga, dengan tujuan meraih prestasi sebanyak mungkin. Secara kebetulan, Si Merah dan Si Biru sama-sama dimiliki pebisnis asal Amerika Serikat.
Hanya saja, meski latar belakang negara asal pemilik dan ide dasarnya sama, mereka menjalankan pendekatan berbeda, yang di beberapa titik bahkan cukup kontradiktif.
Sejak dimiliki FSG tahun 2010, Liverpool tak langsung belanja pemain besar-besaran, karena harus melunasi hutang klub lebih dulu. Kalaupun ada belanja pemain dalam jumlah banyak, biasanya itu diikuti dengan penjualan pemain bintang bergaji mahal, dan kriterianya pemain incarannya simpel: sesuai kebutuhan tim.
Mulai dari era Fernando Torres, Luis Suarez, Coutinho, Sadio Mane sampai Fabinho, selalu saja ada momen bongkar pasang tim, meski tidak sampai mengubah total tim secara besar-besaran. Tentu saja, ini adalah satu cara normal menjaga neraca keuangan klub tanpa melanggar aturan Financial Fair Play.
Meski terlihat tidak royal di bursa transfer, FSG justru royal dalam membangun infrastruktur klub dan akademi. Dimulai dari perluasan dan renovasi bertahap Stadion Anfield (dari 45 ribu penonton menjadi 61 ribu penonton), membangun kamp latihan yang terintegrasi dengan akademi klub di Kirkby, sampai membeli kembali kamp latihan Melwood tahun 2023, yang digunakan untuk tim sepak bola wanita Liverpool.
Diluar urusan infrastruktur, The Kop juga membangun sistem pembinaan pemain muda yang terintegrasi dengan tim senior. Alhasil, klub belakangan lebih banyak membeli pemain muda dari klub lain, dan memolesnya sampai jadi pemain tim utama.
Selain karena harga transfer yang relatif miring, ada potensi meraih untung cukup besar dari penjualan pemain. Kasus ini pernah terjadi pada transfer Dominic Solanke (ke Bournemouth, 19 juta pounds) dan Ki Jana Hoever (ke Wolverhampton, 9 juta pounds).
Dari keduanya, Liverpool mendapat total pemasukan 28 juta pounds, setelah sebelumnya hanya mengeluarkan dana 100 ribu pounds untuk memboyong Hoever dari Ajax Amsterdam, dan mendatangkan Solanke dari Chelsea secara gratis.
Kalaupun gagal menembus tim utama, mereka masih bisa mendatangkan pemasukan. Kalau bisa masuk tim utama, mereka bisa bersaing dengan pemain senior, karena dibina dalam sistem berstandar tinggi.
Jadi, normal kalau setelah kemunculan generasi Caomihin Kelleher, Trent Alexander-Arnold dan Curtis Jones, kita melihat pemain seperti Connor Bradley dan Jarell Quansah muncul di tim utama.
Pelatih Juergen Klopp bahkan tak ragu memainkan para pemain akademi di final Carabao Cup melawan "tim 1 miliar pounds" dari kota London.
Diluar skor 1-0 yang tercipta di Wembley, kita juga diajak melihat, pendekatan agresif Chelsea di bursa transfer terbukti hanya menghasilkan sekuel cerita konyol, dengan final Carabao Cup sebagai satu puncak komedi.
Mereka punya banyak pemain muda berbakat kelas dunia, bahkan dua kali memecahkan rekor transfer pemain termahal Liga Inggris, tapi terlihat bermain seadanya. Sebuah ironi yang mengenaskan, untuk tim yang sudah menggelontorkan dana transfer lebih dari 1 miliar pounds dalam setahun terakhir.
Yang lebih mengenaskan, selain kalah secara skor dengan tim yang didominasi pemain jebolan akademi Kirkby, mereka juga kurang greget jika dibandingkan anak-anak muda lulusan "STM Liverpool" yang sejatinya merupakan tim darurat, menyusul cedera sejumlah pemain inti.
Ironisnya, sejak dipegang Todd Boehly, hanya ada Connor Gallagher dan Levi Colwill, pemain lulusan akademi Chelsea yang masih bertahan di tim utama, sebagai pemain reguler.
Meski menjadikan Reece James sebagai kapten tim, bek sayap lulusan akademi Cobham ini belakangan jarang main karena cukup akrab dengan masalah cedera kambuhan.
Padahal, tim akademi Cobham pernah berjaya di UEFA Youth League. Akademi yang dibuka pada tahun 2007 ini juga menjadi gambaran visi jangka panjang era Roman Abramovich, yang sayangnya harus pupus setelah sang taipan Rusia pergi.
Sebenarnya, pendekatan belanja pemain ala Boehly adalah satu hal wajar di sepak bola modern. Strategi ini juga biasa digunakan untuk rencana jangka menengah maupun panjang.
Tapi, ada tekanan untuk sukses sangat besar di sini, yang justru kontraproduktif, karena pemain yang direkrut rata-rata masih muda dan belum terbukti konsisten. Malah, ada yang diboyong setelah baru semusim bersinar.
Apa boleh buat, ini menjadi beban yang membuat The Blues tampil seperti tim medioker. Meski punya ide proyek olahraga dan paket gaji menarik, jika mereka masih gagal lolos ke Eropa, semua daya tarik ini akan hilang, diganti dengan pemotongan gaji dan prospek suram.
Jelas, seroyal apapun gelontoran fulus Boehly, pasti akan ada batasnya. Transfer pemain memang dibutuhkan untuk membangun tim, tapi ini bukan satu hal yang punya dampak berkelanjutan seperti pada pembaruan infrastruktur dan akademi klub.
Malah, kalau terlalu bertumpu pada transfer pemain, klub bisa terjerumus dalam masalah finansial di masa depan, seperti yang sedang dialami Barcelona dalam beberapa tahun terakhir. Potensi nasib serupa Barca bisa terjadi di Stamford Bridge, karena (sejauh ini) transfer mereka masih lebih banyak yang flop.
Situasi Liverpool dan Chelsea memang menghadirkan satu kontradiksi sempurna dari sebuah ide proyek olahraga jangka panjang. Tapi, disinilah perbedaan antara perencanaan terukur dan ambisi sembrono terlihat jelas.
Meski sama-sama bertujuan meraih prestasi, pendekatan Liverpool telah terbukti membuahkan prestasi positif, karena ada keberlanjutan di dalamnya. Sementara itu, Chelsea masih belum kunjung stabil, karena belum punya arah yang jelas, apalagi keberlanjutan dalam rencananya.
Berangkat dari kontradiksi inilah, Chelsea dan Liverpool sebenarnya bisa dibilang sama-sama sukses di Wembley. Liverpool mampu meraih trofi dengan tim seadanya tapi dihasilkan dari sistem yang terencana, sementara Chelsea sukses mencapai final, di tengah berbagai kekacauan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H