Apa boleh buat, ini menjadi beban yang membuat The Blues tampil seperti tim medioker. Meski punya ide proyek olahraga dan paket gaji menarik, jika mereka masih gagal lolos ke Eropa, semua daya tarik ini akan hilang, diganti dengan pemotongan gaji dan prospek suram.
Jelas, seroyal apapun gelontoran fulus Boehly, pasti akan ada batasnya. Transfer pemain memang dibutuhkan untuk membangun tim, tapi ini bukan satu hal yang punya dampak berkelanjutan seperti pada pembaruan infrastruktur dan akademi klub.
Malah, kalau terlalu bertumpu pada transfer pemain, klub bisa terjerumus dalam masalah finansial di masa depan, seperti yang sedang dialami Barcelona dalam beberapa tahun terakhir. Potensi nasib serupa Barca bisa terjadi di Stamford Bridge, karena (sejauh ini) transfer mereka masih lebih banyak yang flop.
Situasi Liverpool dan Chelsea memang menghadirkan satu kontradiksi sempurna dari sebuah ide proyek olahraga jangka panjang. Tapi, disinilah perbedaan antara perencanaan terukur dan ambisi sembrono terlihat jelas.
Meski sama-sama bertujuan meraih prestasi, pendekatan Liverpool telah terbukti membuahkan prestasi positif, karena ada keberlanjutan di dalamnya. Sementara itu, Chelsea masih belum kunjung stabil, karena belum punya arah yang jelas, apalagi keberlanjutan dalam rencananya.
Berangkat dari kontradiksi inilah, Chelsea dan Liverpool sebenarnya bisa dibilang sama-sama sukses di Wembley. Liverpool mampu meraih trofi dengan tim seadanya tapi dihasilkan dari sistem yang terencana, sementara Chelsea sukses mencapai final, di tengah berbagai kekacauan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H