Bagi sebagian orang, khusunya di era kekinian, ini adalah aktivitas yang dari luar bisa terlihat remeh. Berkat kemajuan teknologi, menulis artikel bahkan sudah bisa dilakukan di ponsel, sehingga membuatnya kadang sulit dibedakan dengan "main hp".
Secara pribadi, sejak pertama kali menulis di Kompasiana, ponsel menjadi satu medium menulis yang cukup saya andalkan, terutama karena praktis. Bisa menulis sambil mendengarkan musik atau menonton tayangan streaming, benar-benar sebuah paket lengkap.
Tapi, dibalik semua simplisitas ini, terselip juga tantangan yang membuatnya kadang terasa rumit, khususnya jika melihat situasi dari dalam, dalam hal ini kondisi fisik yang agak naik-turun di awal tahun.
Sejak awal tahun, masalah flu yang disambung dengan keseleo di bagian kaki dan nyeri punggung, juga akibat keseleo, cukup mengganggu. Ketika sudah cukup pulih, ada beberapa ide yang ingin ditulis, tapi terpaksa harus dipilah ulang karena ada yang sudah lebih dulu ditulis orang lain atau sudah usang.
Situasi ini juga membuat saya sedikit belajar lagi, khususnya tentang memilah topik tulisan berdasarkan berita atau informasi yang sedang tren.
Dalam banyak kasus, jenis referensi seperti ini biasa menghasilkan tulisan berita atau analisis dengan isi atau inti bahasan kurang lebih sama. Kalau yang dikejar sebatas kuantitas tulisan, label dan jumlah klik, mungkin menulis 10 artikel dalam sehari bukan urusan sulit.
Masalahnya, karena orientasi menulis saya tidak sebatas ke sana, dan saya masih menunggu kondisi fisik cukup pulih, saya baru bisa menulis lagi setelah benar-benar sudah siap.
Dari segi kecepatan menulis, saya bukan penulis yang baik, karena itu, kelemahan ini harus bisa diakali. Kebetulan, menulis sendiri adalah satu terapi psikologi yang memang disarankan psikolog untuk saya biasakan.
Jadi, setelah masalah nyeri punggung cukup aman, saya mulai mencoba menulis lagi, sambil berusaha "membayar hari bolos" yang sejauh ini lumayan banyak.
Di era kekinian, sebenarnya sudah ada teknologi seperti "text to speech" yang bisa digunakan untuk menulis. Tapi, saya memilih tidak memakainya, karena teknologi ini justru membatasi ruang dialog antara saya dan diri sendiri, yang biasanya berjalan sebagai bagian dari satu proses kreatif dalam menulis.