Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sisi Dinamis Piala Afrika 2023

1 Februari 2024   16:14 Diperbarui: 1 Februari 2024   16:21 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 2024 menghadirkan dua turnamen antarnegara tingkat benua, yakni Piala Asia dan Piala Afrika. Hanya saja, dua turnamen ini menghadirkan cerita berbeda.

Di Asia, tim-tim unggulan seperti Jepang, Korea Selatan dan Australia seperti biasa masih belum terbendung. Tapi pemandangan sebaliknya hadir di Afrika, dengan tim-tim kuat seperti Mesir, Senegal, Maroko dan Kamerun kompak tersingkir di perdelapan final.

Kejutan ini menjadi lanjutan dari pemandangan serupa di fase grup, dengan tim sekelas Ghana, Aljazair dan Tunisia secara mengejutkan masuk kotak lebih dulu.

Nasib ketiganya tak seberuntung tuan rumah Pantai Gading, yang lolos sebagai tim peringkat ketiga terbaik di detik akhir, dan melaju ke perempatfinal usai menang adu penalti atas juara bertahan Senegal.

Di perempatfinal, Serge Aurier dkk sudah ditunggu Mali, negara tetangga Senegal yang mengungguli Tunisia di fase grup.
Uniknya, The Elephants bertarung di fase gugur tanpa ditangani pelatih tetap.

Penyebabnya, FIF (PSSI-nya Pantai Gading) memecat pelatih Jean-Louis Gasset (Prancis) segera setelah kekalahan 0-4 dari Guinea Khatulistiwa, di laga terakhir fase grup. Sebagai gantinya, Emerse Fae yang sebelumnya menjadi asisten pelatih ditunjuk sebagai pelatih sementara.

Praktis, diantara tim-tim raksasa Benua Hitam yang tersisa, tinggal Nigeria saja yang melaju relatif mulus. Setelah membuat tuan rumah Pantai Gading ketar-ketir di fase grup, Victor Osimhen dkk mampu menumbangkan Kamerun 2-0 di babak perdelapan final.

Di perempatfinal, Tim Elang Super sudah ditunggu Angola, tim yang di fase grup mengungguli Aljazair. Jika semua berjalan lancar, Nigeria vs Pantai Gading akan menjadi skenario final ideal Piala Afrika 2023 di atas kertas.

Tapi, bukan berarti tim-tim lain bisa diabaikan begitu saja. Republik Demokratik Kongo yang mengalahkan Mesir lewat adu penalti, dan Afrika Selatan yang mengalahkan Maroko, semifinalis Piala Dunia 2022 dengan skor 2-0 masih berpotensi melangkah lebih jauh, bahkan menjadi batu sandungan.

Kedua tim sudah menciptakan kejutan besar, dan pasti masih akan berusaha melangkah sejauh mungkin.

Dari situasi yang sejauh ini sudah berjalan, dan rekam jejak turnamen secara umum, dinamika yang justru menunjukkan seberapa unik Piala Afrika.

Dari durasinya, turnamen tingkat benua satu ini tidak seperti Piala Asia atau Eropa yang digelar tiap empat tahun sekali. Secara teratur (sejak edisi 1968 dan dijadwal ulang sejak edisi 2013) turnamen besutan CAF ini digelar setiap dua tahun sekali.

Alhasil, jadwal kualifikasi yang ada cukup padat, dan ini masih belum termasuk Kualifikasi Piala Dunia zona Afrika. Dengan jadwal sepadat ini, ditambah kehadiran banyak pemain berbakat dari Afrika tiap tahunnya, kompetisi yang hadir jadi terlihat dinamis. Tim juara bertahan belum tentu bisa tampil di edisi berikutnya.

Sebagai contoh, Nigeria yang terakhir kali juara Piala Afrika tahun 2013 gagal lolos kualifikasi di edisi 2015. Fenomena ini juga dialami Zambia dan Mesir di edisi 2012 dan 2013.

Meski nuansa dominasi negara Afrika Utara, Barat dan Tengah masih cukup kental, kemunculan tim kejutan dari Afrika Selatan seperti Afrika Selatan dan Angola sesekali cukup membuat dinamika lebih seimbang.

Belakangan, negara-negara Afrika Timur juga ikut ambil bagian. Di Piala Afrika edisi 2023 misalnya, Afrika Timur diwakili oleh Mozambik dan Tanzania yang lolos kualifikasi.

Tak heran, kompetisi Piala Afrika selalu bisa menciptakan kejutan. Sebagai contoh, di edisi 2023, selain Republik Demokratik Kongo dan Afrika Selatan, perempatfinal Piala Afrika menghadirkan tim-tim kuda hitam seperti Angola, Cape Verde, Mali dan Guinea.

Tapi, dibalik dinamika ini, terselip sedikit kesan hati-hati dari para bintang di tim negara unggulan, khususnya pada pemain-pemain yang main di liga top Eropa.

Tentu saja, sikap hati-hati ini berkaitan dengan potensi cedera. Apalagi, kalau pemain tersebut merupakan bintang di klub maupun tim nasional.

Berhubung kompetisi di klub masih berjalan, akan jadi kerugian buat klub dan tim nasional, kalau si pemain malah cedera sepulang dari turnamen. Pada edisi Piala Afrika 2023, masalah ini membuat Timnas Mesir dan Liverpool pusing, setelah Mohamed Salah mengalami cedera otot.

Memang, pada prosesnya Salah langsung direhabilitasi di Liverpool supaya cepat pulih, dan diharapkan bisa bergabung lagi, jika Tim Firaun  mampu melangkah minimal sampai semifinal.

Sayangnya, tanpa sang bintang utama, Timnas Mesir malah angkat koper di perdelapan final, setelah kalah adu penalti melawan Republik Demokratik Kongo.

Kasus "hati-hati" lain yang muncul di Piala Afrika 2023 hadir pada sosok Andre Onana. Kiper Timnas Kamerun ini difasilitasi jet pribadi untuk antar jemput oleh Manchester United, supaya bisa bergabung di tim nasional tepat waktu, dan kembali ke klub dalam keadaan fit.

Mohamed Salah dan Andre Onana, gagal melangkah jauh di Piala Afrika 2023 (Sportsbrief.com)
Mohamed Salah dan Andre Onana, gagal melangkah jauh di Piala Afrika 2023 (Sportsbrief.com)
Apesnya, kehadiran Onana di Pantai Gading malah berdampak negatif buat Tim Singa Lapar. Ia telat bergabung dengan tim di laga perdana melawan Guinea, lalu tampil seadanya di laga kedua, dengan kebobolan 3 gol saat berjumpa Senegal yang dimotori Sadio Mane.

Selebihnya, kiper Manchester United ini duduk manis di bangku cadangan, termasuk saat Timnas Kamerun dibekuk Nigeria 0-2 di perdelapan final. Segera setelah negaranya tersingkir, Onana langsung terbang kembali Inggris keesokan harinya.

Dari edisi ke edisi, fenomena ini, ditambah pergantian personel di tim, biasanya banyak memengaruhi performa. Ada yang naik, ada juga yang turun.

Tentu saja, ini bukan tren performa yang biasa diharapkan fans tim-tim kuat, tapi justru disinilah sisi kompetitif itu tetap hidup, dan memberi ruang untuk tim nonunggulan membuat kejutan. Dongeng Zambia saat juara Piala Afrika 2012 menjadi contoh terkenal.

Dari suasana dinamis seperti ini jugalah, tim nasional di Afrika digembleng, sehingga tim yang lolos ke Piala Dunia benar-benar layak untuk lolos.

Bukan cuma tampil di fase grup, tim-tim Afrika juga cukup sering lolos ke fase gugur Piala Dunia, dengan babak semifinal Piala Dunia 2022 menjadi langkah terjauh, ketika Maroko menciptakan momen historis itu di Qatar.

Diluar melimpahnya pemain dengan bakat alam dan profil bintang, kompetisi tingkat benua yang dinamis juga menjadi faktor penting. Meski frekuensinya sesering Piala AFF di Asia Tenggara, pemenang Piala Afrika jauh lebih sulit ditebak, karena tim semifinalis Piala Dunia saja bisa takluk dari tim yang kurang diunggulkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun