Rangkaian Debat Cawapres Pemilu 2024 memang sudah usai, Minggu (21/1) lalu. Meski begitu, pembahasan tentangnya sudah pasti akan berlanjut, setidaknya sampai menjelang Debat Pilpres terakhir, 4 Februari 2024 mendatang.
Sebenarnya, ada begitu banyak hal yang dibahas setelah debat Cawapres terakhir, yang pada titik tertentu bahkan sampai membahas detail terkecil. Tapi, kalau boleh memilih, ada satu hal mendasar yang cukup menarik perhatian saya, yakni adanya satu gap generasi, khususnya antara generasi muda (Millenial dan Gen-Z) dan generasi senior.
Gap generasi ini misalnya terlihat dari sikap dan perspektif soal etika. Selama debat berlangsung, banyak orang (terutama generasi senior) menyoroti tutur kata dan sikap Cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka.
Ada yang menyebutnya terlalu frontal, ada yang menyebutnya agresif, dan ada juga yang menyebutnya tengil. Beragam sebutan itu lalu terangkum dalam kata "niretika". Seperti proses yang mengiringinya maju sebagai Cawapres.
Kalau memakai konteks nilai budaya timur, gaya bicara tanpa basa-basi kadang kurang nyaman dan terkesan "kurang ajar", terutama jika lawan bicara lebih tua. Apalagi, kalau ada gestur terkesan merendahkan atau emosional.
Tapi, kalau boleh dilihat lagi dalam konteks arena yang sama, momen kurang etis juga hadir, ketika dua orang kandidat yang sama-sama masih menjabat sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan saat ini, tanpa malu-malu menjelekkan kinerja pemerintah, yang notabene tempat kerja mereka sendiri.
Bukankah ini juga merupakan pelanggaran etika?
Kalau mereka sudah tidak menjabat di pemerintahan, mengkritik atau berbicara agresif sekalipun seharusnya tidak masalah, tapi, kalau satu hal yang seharusnya jadi evaluasi malah diumbar ke publik, ini bisa jadi contoh buruk di masyarakat, karena perilaku toksik seperti ini dianggap normal.
Apa yang dilakukan pemimpin dan generasi senior, biasanya jadi panutan buat generasi lebih muda. Tidak terkecuali sikap toksik.
Sekali perilaku toksik membudaya, tidak ada yang mau disalahkan. Kalaupun ada, tidak banyak yang mau jujur mengakui. Malah, lebih banyak yang akan "playing victim".
Lebih parah lagi, kalau generasi senior dan generasi muda sama-sama ngotot. Semua jadi kacau, karena standar yang dipakai ternyata ganda atau lebih.
Padahal, kalau generasi senior dan generasi muda mau duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, tidak ada ruginya. Malah, semua bisa jadi lebih adem, karena tak ada yang lebih bodoh atau pintar.
Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang jika disatukan bisa menjadi satu kekuatan hebat. Sayang, sisi konservatif budaya timur dan ego kadang masih tinggi.
Padahal, generasi muda membutuhkan panutan generasi senior untuk lebih bijaksana dan dewasa sebagai pribadi, sementara generasi senior membutuhkan generasi muda untuk persiapan regenerasi di masa depan.
Di sisi lain, punya budaya beserta nilai-nilai luhurnya memang penting, karena inilah jati diri bangsa. Masalahnya, kalau budaya itu malah menghasilkan standar ganda dan kekacauan setelahnya, berarti ada yang salah, dan itu baru bisa diperbaiki kalau sudah disadari bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H