Di antara empat tim Asia Tenggara yang lolos ke Piala Asia 2023, performa Malaysia menjadi yang paling jeblok. Vietnam yang juga kalah 2 kali saja mampu mencetak dua gol, seperti halnya Indonesia dan Thailand.
Dalam beberapa kesempatan, FAM (PSSI-nya Malaysia) memang menyebut, mereka punya pandangan ke level Asia, bukan lagi ASEAN. Terbukti, mereka merekrut Kim Pan Gon yang pernah menjadi direktur teknik Timnas Korea Selatan, menaturalisasi sejumlah pemain di liga domestik, dan berburu pemain diaspora Malaysia di luar negeri.
Jelas, Malaysia punya rencana "naik level" secepat mungkin, tapi rencana ini jadi kontraproduktif, karena terkesan tidak terencana. Belum ada standar kualitas dan kriteria pemain yang jelas.
Ada pemain naturalisasi atau diaspora yang pernah main di liga kasta tertinggi luar negeri, tapi lebih banyak lagi yang bermain di dalam negeri, dengan usia sudah cukup senior.
Ini berbeda dengan Timnas Indonesia, yang punya perpaduan kriteria menarik, tapi punya standar kualitas jelas. Ada yang berpengalaman main di Eropa, ada yang masih berusia muda, dan ada juga yang pernah masuk tim nasional junior negara kelahiran, seperti Justin Hubner dan Sandy Walsh di Timnas junior Belanda.
Ditambah lagi, dari 7 pemain diaspora dan naturalisasi di Tim Garuda, 6 diantaranya bermain di klub luar negeri. Marc Klok yang saat ini bermain di Persib Bandung saja bahkan pernah bermain di Jong Utrecht (Belanda), Dundee United (Skotlandia), dan Cherno More (Bulgaria).
Ditambah pemain-pemain dari klub luar negeri seperti Asnawi Mangkualam (Jeonnam Dragons, Korea Selatan), Pratama Arhan (Suwon FC, Korea Selatan) dan Marselino Ferdinan (KMSK Deinze), keberadaan pemain-pemain abroad, diaspora dan naturalisasi di Timnas Indonesia mampu menaikkan level kualitas tim.
Tak heran, Timnas Indonesia yang kita lihat di Qatar berbeda dengan yang biasa kita lihat di Piala AFF. Mereka lebih kuat dan kompetitif, sehingga menciptakan harapan yang masih bisa dikejar.
Dengan perbedaan mendasar seperti ini, kuantitas jelas bukan faktor penentu, jika kualitasnya tidak signifikan, efeknya justru akan melemahkan tim di laga kompetitif, terutama jika bertemu lawan lebih kuat.
Di sisi lain, punya kompetisi domestik yang termasuk papan atas di level Asia ternyata bukan jaminan mutu yang sepenuhnya bisa diandalkan. Dengan perkembangan tren begitu cepat, perlu ada peningkatan kualitas secara kontinyu.Â
Jika tidak, efeknya justru akan jadi bumerang. Adanya kemajuan memang penting, tapi jika sifatnya semu, itu bisa merugikan.Â