Judul di atas adalah satu pertanyaan spontan yang muncul di pikiran saya, setelah melihat aksi Liverpool saat menekuk Arsenal 2-0 di ajang Piala FA, Minggu (7/1) tengah malam WIB.
Dalam laga ini, tim asuhan Juergen Klopp meladeni tim tuan rumah yang tampil dengan kekuatan penuh, dengan komposisi relatif seadanya. Tak ada Mohamed Salah dan Wataru Endo yang absen karena tugas negara, juga Virgil Van Dijk dan Dominik Szoboszlai yang tidak fit.
Secara permainan, Arsenal sebenarnya juga lebih memegang kendali, lewat lini tengah yang lebih sering memenangkan pertarungan dan melepas umpan terobosan ke jantung pertahanan Liverpool. Sayang, keunggulan ini tidak diimbangi dengan kualitas penyelesaian akhir yang bagus.
Sebaliknya, ketika The Reds melakukan kontra-strategi di babak kedua, dengan memanfaatkan dua sisi sayap, hasilnya langsung mengubah total keadaan.
Di saat Bukayo Saka dkk berusaha memecah kebuntuan, mereka justru kecolongan di menit ke 80, ketika umpan tendangan bebas Trent Alexander-Arnold dari sisi kanan pertahanan Arsenal malah dibelokkan Jakub Kiwior ke gawang sendiri.
Selepas kecolongan, tim asuhan Mikel Arteta makin banyak menyerang, tapi, di masa injury time, mereka kembali kecolongan, setelah Luis Diaz mencetak gol lewat satu skema serangan balik cepat.
Kemenangan lewat situasi seperti ini, termasuk gol di menit akhir, belakangan menjadi satu kebiasaan Si Merah di musim 2023-2024. Sebenarnya, ini bukan fenomena baru di era Juergen Klopp, karena sejak pelatih asal Jerman itu datang, The Kop memang terlihat lebih tangguh. Dalam sejumlah kesempatan, mereka bahkan bisa membuat "comeback" dramatis.
Tapi, kalau melihat situasi secara khusus, Liverpool musim ini cukup mirip dengan musim 2021-2022. Ketika itu, Mohamed Salah dkk bisa bersaing sampai akhir di empat ajang berbeda: Piala FA, Carabao Cup, Liga Inggris dan Liga Champions.
Meski pada akhirnya hanya mampu meraih Carabao Cup dan Piala FA, tim ini mampu membuat beberapa kemenangan sensasional, termasuk kemenangan 5-0 yang membuat Manchunian "bedol desa" serentak dari Old Trafford, saat laga The Northwest Derby melawan Manchester United masih belum selesai.
Sama seperti di musim 2023-2024, The Kop saat itu juga terlihat "lapar" akan kemenangan, dan mampu menjadikan Stadion Anfield bak benteng karang. Tak banyak tim yang bisa membawa pulang hasil imbang apalagi kemenangan.
Hanya saja, meski standar performanya terlihat mengarah ke sana, kedua tim ini punya komposisi pemain dan dinamika taktik cukup berbeda. Tim edisi 2021-2022 adalah tim yang para pemainnya (rata-rata) berusia matang dan sedang dalam puncak performa.
Selain itu, mereka juga banyak mengandalkan trisula Firmino-Mane-Salah sebagai poros serangan, yang biasa didukung juga dengan duet bek sayap Andrew Robertson dan Trent Alexander-Arnold lewat kiriman umpan-umpan jitu mereka.
Di tengah, sebenarnya ada Thiago Alcantara dan Naby Keita yang sama-sama pintar memanfaatkan ruang sempit dan mengkreasi umpan kunci, tapi keduanya sama-sama sering cedera, sehingga tak  bisa diandalkan untuk bermain di setiap pertandingan.
Akibatnya, ketika lini depan mampu dibendung atau tidak dalam performa terbaik, hasil positif akan sulit didapat. Kekalahan 0-1 atas Real Madrid di final Liga Champions 2021-2022 menjadi satu contoh terkenal dari problem ini.
Situasinya cukup berbeda sejak musim panas 2023, karena komposisi pemain Liverpool sudah cukup berbeda. Salah memang masih jadi andalan, tapi bintang Mesir ini menjadi "senior" bagi pemain lain di lini depan, seperti Darwin Nunez, Cody Gakpo dan Diogo Jota.
Di tengah, keberadaan Wataru Endo, Alexis MacAllister, Dominik Szoboszlai dan Ryan Gravenberch membuat Si Merah akhirnya punya paduan seimbang antara gelandang petarung dan gelandang kreatif.
Dimensi kreativitas di sektor dapur serangan Liverpool juga semakin unik, karena jika ditugaskan di lini tengah, Trent Alexander-Arnold kerap mengatur tempo dan mengkreasi serangan dengan umpan-umpan jauh nan akurat. Kebetulan, saat masih di akademi klub, pemain nomor punggung 66 ini memang berposisi alami sebagai pemain tengah.
Dengan ditambah pemain berpengalaman seperti Virgil Van Dijk dan Alisson, Juergen Klopp kali ini tampak membawa satu tim yang secara kemampuan lebih seimbang, lengkap dengan sinergi cair pemain muda dan senior.
Satu hal lain yang membuat tim ini tampak  "biasa" adalah fakta bahwa mereka "hanya" tampil di Liga Europa, bukan Liga Champions. Terdengar kurang menyenangkan, tapi justru disinilah keuntungannya.
Fakta ini menjadi satu kamuflase bagus, untuk mengalihkan pandangan soal progres tim, setidaknya sampai bisa melaju jauh di akhir musim 2023-2024 nanti. Apalagi, kalau semifinal Carabao Cup mampu dilewati, dan final Piala FA mampu digapai, seperti halnya final Liga Europa dan kesempatan juara Liga Inggris.
Di sini, klub kesayangan Kopites bisa membiasakan diri lagi dengan standar tinggi khas tim pemburu gelar, sebelum menikmati sensasi serupa, jika sudah "naik kelas" ke Liga Champions.
Pembiasaan ini menjadi satu langkah penting, karena selain harus punya ketahanan fisik dan level performa prima, sebuah tim memang perlu ketahanan mental. Kalau tidak, efek kelelahan fisik dan mental bisa merusak performa tim di musim selanjutnya.
Kebetulan, masalah kelelahan fisik dan mental sempat dihadapi Liverpool di musim 2022-2023, segera setelah mampu berpacu hingga tahap akhir di setiap kompetisi musim 2021-2022.
Akibatnya, cukup banyak masalah cedera pemain muncul, bersama penurunan performa tim, yang bahkan tak bisa finis di posisi empat besar Liga Inggris.
Jika semua "perbaikan" di musim 2023-2024 berjalan lancar, rasanya tak perlu menunggu lama lagi untuk melihat Liverpool menjadi satu tim pemburu gelar, dengan sedikit tambahan longetivitas, karena mentalitas untuk itu sudah dibangun sejak tim "hanya" main di Liga Europa.
Tapi, berhubung klub milik FSG ini tidak seroyal Manchester City dalam hal belanja pemain, ini akan jadi penanda mekarnya sebuah siklus generasi, yang setidaknya bisa jadi kerangka tim untuk jangka menengah. Seperti biasa, tak ada belanja pemain, kecuali itu sesuai kebutuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H