Setelah melalui proses selama kurang lebih dua tahun, pada Kamis (21/12) lalu, Pengadilan Uni Eropa menyatakan, pelarangan proyek kompetisi Liga Super Eropa (ESL) oleh FIFA dan UEFA bertentangan dengan hukum anti-monopoli Uni Eropa.
Meski tak mengharuskan proyek ESL disetujui, putusan pengadilan ini menjadi angin segar buat Real Madrid dan Barcelona. Dua raksasa Spanyol ini menjadi dua klub pendiri ESL yang masih tersisa.
Sebelumnya, proyek ESL sempat hadir pada tahun 2021, dengan melibatkan sejumlah klub top Eropa. Mereka terdiri dari enam tim terkenal dari Liga Inggris (Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur), tiga tim raksasa Liga Spanyol (Real Madrid, Barcelona dan Atletico Madrid), dan tiga tim jagoan Liga Italia (AC Milan, Inter Milan dan Juventus).
Tapi, gelombang protes suporter membuat sebagian besar klub mundur. Belakangan, Juventus juga mundur pada tahun 2023, karena terancam sanksi UEFA dan pergantian manajemen, imbas skandal "Plusvalenza".
Dengan demikian, hanya Real Madrid dan Barcelona saja yang masih bertahan. Keputusan yang pada akhirnya menghasilkan babak baru dalam drama proyek ambisius ESL.
Disebut demikian, karena seiring munculnya keputusan dari pengadilan Uni Eropa, ESL langsung mencanangkan ide format baru kompetisi, dengan melibatkan 64 tim pria, yang akan dibagi dalam tiga divisi, dan 32 tim wanita.
Meski menawarkan meritokrasi, transparansi dan akses siaran gratis, ESL adalah satu wujud logika ngawur Real dan Barca, karena alih-alih mendorong pemerataan distribusi pendapatan hak siar dan sponsor klub di Spanyol, mereka justru langsung berusaha mengubah tatanan sepak bola di Eropa, dengan hanya melibatkan klub-klub besar.
Dalam beberapa tahun terakhir, liga-liga di Eropa daratan memang agak tertinggal dari Liga Inggris, terutama dalam hal pemerataan distribusi pendapatan, karena nilainya makin lama makin besar, dan setiap tim peserta mendapat hak setara.
Tak cukup sampai disitu, klub-klub yang terdegradasi juga masih mendapat "Parachute Payment" untuk menjaga agar kondisi keuangan klub yang turun kasta tidak langsung kolaps. Jadi, tim bisa tetap kompetitif, tanpa perlu merelakan pemain bintang mereka pergi secara serempak.
Fenomena ini agak berbeda dengan klub-klub di liga-liga Eropa daratan, yang biasanya langsung cuci gudang begitu terdegradasi, karena tak ada subsidi seperti di Liga Inggris dan kue pendapatan yang banyak dikuasai tim-tim besar.
Tapi, pendapatan besar itu kadang tak diikuti dengan transparansi dan manajemen yang baik, sehingga klub top sekalipun masih saja terjerat masalah. Di sini, kasus Plusvalenza Juventus dan krisis keuangan kronis di Barcelona menjadi contoh paling gamblang.
Jadi, ketika proyek ESL kembali hidup, dengan Duo El Clasico sebagai dedengkotnya, ini malah menunjukkan ketamakan keduanya sebagai sebuah entitas bisnis, karena mereka masih mengejar pemasukan sebesar-besarnya, lewat sebuah proyek ambisius yang cenderung congkak.
Dengan adanya ESL, para pemain rawan dieksploitasi habis-habisan akibat jadwal terlalu padat. Kalau dipaksakan, ini bisa merusak kualitas kompetisi secara keseluruhan, dan jadi ajang eksploitasi manusia versi kekinian.
Padahal, kalau La Liga bisa punya distribusi pendapatan yang adil, Atletico Madrid tak perlu menunggu sampai bertahun-tahun untuk jadi juara liga. Kejutan seperti yang dibuat Girona pun bisa lebih sering datang, bukan hanya mampir sekali dalam waktu 15-20 tahun.
Soal komposisi tim peserta, ESL juga menjadi satu wujud kesombongan pencetusnya, karena hanya melibatkan klub-klub besar. Padahal, klub sebesar Real Madrid dan Barcelona pun memulai semuanya dari bawah di negeri sendiri, sebelum jadi seperti sekarang.
Secara kasat mata, konsep "tiada hari tanpa big match" versi ESL memang menarik, tapi itu akan membosankan secara psikologis, dan jika dipaksakan akan membuat ESL kurang menarik, karena tidak punya elemen kejutan.
Konsep ala ESL ini juga bisa menjadi satu blunder, karena membuat nilai spesial sebuah "big match" hilang. Di Indonesia saja, laga berlabel "big match" terasa kurang menarik, karena hampir semua pertandingan punya label itu.
Di sisi lain, proyek ESL yang tampak hidup kembali jadi satu potret menjijikkan sepak bola era industri, karena cenderung ingin menjaga ketimpangan dan membuat klub besar bisa lupa diri.
Andai Real Madrid dan Barcelona tetap ngotot dengan proyek ESL pun, Madridista dan Barcelonista belum tentu satu suara. Apalagi, kalau sampai UEFA dan FIFA meminjam tangan RFEF (PSSI-nya Spanyol) untuk mengucilkan keduanya.
Kalau keduanya sampai dikucilkan dari Liga Spanyol dan Liga Champions, mereka hanya akan jadi tim pesakitan. El Clasico sendiri memang menarik, tapi apakah akan tetap menarik jika rutin hadir tiap minggu?
Karenanya, menarik ditunggu, seberapa kompak FIFA, UEFA, klub, fans dan federasi sepak bola di seluruh Eropa dalam menyikapi proyek ESL ini. Jika tetap solid, rasanya Real Madrid dan Barcelona sedang menggali kubur mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H