Keputusan ini membuat sebagian suporter dan manajemen lama klub langsung bergerak mendaftarkan nama lama klub sebagai satu tim tersendiri tahun 2005. Pada musim 2023-2024, Violette berlaga di kasta ketiga Liga Austria.
Akibatnya, RB Salzburg kerap dikritik klub rival di dalam negeri, karena Stadion Red Bull Arena yang berkapasitas 30 ribu penonton sangat jarang terisi sampai setengahnya. Catatan "sold out" nya pun bisa dihitung dengan jari tiap musimnya.
Terlepas dari pragmatisme mereka, RB Salzburg menjadi sebuah anomali, karena sejauh ini bisa bertahan berkat model bisnis jual beli pemain dan sponsor, tanpa punya basis penggemar kuat. Tidak seperti kebanyakan klub sepak bola pada umumnya.
Tapi, di era sepak bola industri yang banyak berorientasi bisnis, fenomena ini menjadi wajar, karena di saat pemasukan dari sponsor, hak siar dan kompetisi cenderung meningkat, daya beli suporter tak selalu bisa mengikuti kenaikan harga tiket yang rutin terjadi tiap tahun.
Ironisnya, inilah yang membuat kegiatan menonton langsung pertandingan sepak bola (secara perlahan) di stadion maupun platform layanan streaming makin berada di luar jangkauan fans. Kecuali, jika mereka punya penghasilan tinggi atau sudah menyiapkan tabungan besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H