Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

RB Salzburg dan Paradoks Sebuah Inovasi

20 Desember 2023   08:46 Diperbarui: 21 Desember 2023   12:03 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pemain RB Salzburg. (Foto: AFP/CHRISTOF STACHE via kompas.com) 

Sepak bola era kekinian menghadirkan banyak hal baru, sebagai buah dari satu fenomena modernisasi di berbagai bidang, termasuk olahraga. Salah satu hasilnya, muncul inovasi dalam pencarian dan pengembangan bakat pemain muda, seperti yang terjadi di klub RB Salzburg.

Sejak diakuisisi Red Bull pada tahun 2005, klub yang awalnya bernama SV Austria Salzburg ini berkembang menjadi tim kuat di Austria. 

Terbukti, sejak tahun 2006, tim yang bermarkas di kota asal Wolfgang Amadeus Mozart (musikus klasik dunia) ini mampu memenangkan 14 dari 17 edisi terakhir Bundesliga Austria.

Pada awalnya, Si Banteng Merah mendatangkan pelatih berpengalaman seperti Giovanni Trappattoni (Italia) dan Co Adriaanse (Belanda).

Langkah ini menjadi awal dibangunnya "dinasti" RB Salzburg di Austria, karena berlanjut dengan dibangunnya akademi sepak bola pada tahun 2014, dan hadirnya strategi pencarian bakat yang menarik.

Disebut menarik, karena klub milik perusahaan minuman energi ini cukup rutin menemukan pemain berkualitas yang kadang luput dari radar pencari bakat klub top Eropa. Tak lupa, pemain lokal potensial juga ikut diorbitkan.

Hasilnya, nama-nama tenar seperti Sadio Mane (Senegal), Naby Keita (Guinea), Erling Haaland (Norwegia), Patson Daka (Zambia), Benjamin Sesko (Slovenia), Karim Adeyemi (Jerman) dan Dominik Szoboszlai (Hongaria) muncul dan bersinar.

Selain memperkuat tim dari segi teknis, kehadiran para pemain berbakat ini mampu mendatangkan banyak pemasukan  dari penjualan pemain bintang. Berkat strategi ini, kondisi keuangan klub tetap sehat.

Jadi, meski rerata jumlah penonton klub kurang maksimal, besarnya pemasukan dari transfer pemain, kompetisi dan sponsor membuat klub tetap eksis. 

Rutinitas tampil di Eropa juga membuat klub punya profil menarik di mata pemain muda potensial, karena bisa menjadi batu loncatan ke liga-liga top Eropa.

Secara kualitas tim, Die Roten Bullen masih superior di liga, karena pemain bintang yang pergi biasa digantikan oleh pemain berbakat lain dengan harga terjangkau.

Sebagai contoh, di era terkini, mereka punya Luka Sucic (21) yang  sudah meraih medali perunggu Piala Dunia 2022 bersama Timnas Kroasia dan dianggap sebagai penerus potensial Luka Modric di lini tengah Vatreni.

Skuad RB Salzburg. (Sumber: Dailymail.co.uk)
Skuad RB Salzburg. (Sumber: Dailymail.co.uk)

Di pos pelatih, muncul juga nama-nama pelatih yang kini melatih klub peserta Liga Champions Eropa, seperti Roger Schmidt (Benfica) dan Marco Rose (RB Leipzig).

Berkat strategi pencarian bakat dan manajemen yang oke juga, RB Salzburg mampu menjadi wakil rutin Austria di Eropa. Meski belum sampai juara, setidaknya fase gugur Liga Champions (2021-2022) dan semifinal Liga Europa (2017-2018) sudah pernah dicapai.

Dominasi ini membuat mereka mampu rutin mengirim pemain ke Timnas Austria. Dari angkatan Marcel Sabitzer (kini di Borussia Dortmund) dan Konrad Laimer (kini di Bayern Munich) sampai Junior Adamu, Nicolas Seiwald, dan Andres Ulmer di generasi terkini, selalu ada perwakilan RB Salzburg di tim nasional.

Konsistensi dan standar kualitas tinggi ini ikut berdampak positif pada prestasi Das Team, yang lolos di tiga edisi beruntun Piala Eropa (2016, 2020 dan 2024).

Dari Red Bull juga, mulai muncul tren kepemilikan beberapa klub sepak bola oleh satu pihak. Ada City Football Group dan keluarga Pozzo (pemilik saham Udinese, Watford dan Granada).

Selain Salzburg, Red Bull sendiri diketahui punya klub di beberapa negara, antara lain RB Leipzig (Jerman), New York Red Bull (Amerika Serikat) dan RB Bragantino (Brasil).

Tapi, inovasi ala RB Salzburg bukannya tanpa kekurangan. Karena terlalu fokus pada aspek olahraga dan bisnis, Red Bull selaku pemilik klub terkesan kurang memperhatikan aspek sejarah klub dan basis penggemar.

Saat mengakuisisi klub tahun 2005, Red Bull langsung mengubah total identitas klub SV Austria Salzburg, klub yang dulunya identik dengan seragam warna ungu.

Keputusan ini membuat sebagian suporter dan manajemen lama klub langsung bergerak mendaftarkan nama lama klub sebagai satu tim tersendiri tahun 2005. Pada musim 2023-2024, Violette berlaga di kasta ketiga Liga Austria.

Akibatnya, RB Salzburg kerap dikritik klub rival di dalam negeri, karena Stadion Red Bull Arena yang berkapasitas 30 ribu penonton sangat jarang terisi sampai setengahnya. Catatan "sold out" nya pun bisa dihitung dengan jari tiap musimnya.

Terlepas dari pragmatisme mereka, RB Salzburg menjadi sebuah anomali, karena sejauh ini bisa bertahan berkat model bisnis jual beli pemain dan sponsor, tanpa punya basis penggemar kuat. Tidak seperti kebanyakan klub sepak bola pada umumnya.

Tapi, di era sepak bola industri yang banyak berorientasi bisnis, fenomena ini menjadi wajar, karena di saat pemasukan dari sponsor, hak siar dan kompetisi cenderung meningkat, daya beli suporter tak selalu bisa mengikuti kenaikan harga tiket yang rutin terjadi tiap tahun.

Ironisnya, inilah yang membuat kegiatan menonton langsung pertandingan sepak bola (secara perlahan) di stadion maupun platform layanan streaming makin berada di luar jangkauan fans. Kecuali, jika mereka punya penghasilan tinggi atau sudah menyiapkan tabungan besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun