Sebelumnya, saya kurang yakin untuk menyuarakan isu satu ini lewat tulisan, karena belum ada gambaran jelas soal arah program capres-cawapres untuk penyandang disabilitas alias difabel.Â
Berhubung gambaran visi-misi dan program capres-cawapres (termasuk untuk difabel) sudah rilis di media, saya merasa perlu bersuara, dalam sudut pandang sebagai seorang difabel.
Seperti lazimnya pemilu, ada aneka gagasan program dan visi-misi dari setiap pasangan capres-cawapres. Difabel sendiri termasuk satu kelompok rentan yang ikut diperhatikan, karena data BPS tahun 2020 mencatat, Indonesia punya 22,5 juta warga difabel.
Secara garis besar, ketiga pasangan capres-cawapres di Pemilu 2024 memang punya gagasan program untuk difabel, dengan sama-sama menyebut difabel sebagai "kelompok rentan yang perlu dilindungi", supaya dapat lebih berdaya dan mendapat hak dasar sebagai warga negara, seperti akses fasilitas publik, pendidikan, pekerjaan dan sampai partisipasi politik.Â
Semua gagasan ini bagus, karena memang dibutuhkan. Masalahnya, ini sudah rutin muncul di setiap pemilu dan masih belum ada perbaikan signifikan, karena program yang dijanjikan kadang sulit diwujudkan.
Dari banyak faktor yang bisa berpengaruh, belum adanya budaya inklusif menjadi faktor paling mendasar. Disadari atau tidak, sudah terlalu banyak pendekatan salah kaprah yang selama ini sudah berjalan.Â
Sebagai contoh, difabel masih cenderung dikelompokkan bersama sesama difabel, baik dalam sekolah, komunitas, atau pelatihan kerja. Meski maksud awalnya baik, pendekatan ini justru membuat kesan "eksklusif" muncul.
Dalam jangka panjang, kebiasaan ini akan berdampak negatif, karena mereka tidak dibantu untuk melebur sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk.
Ini baru soal pengelompokan, belum termasuk urusan pendekatan dalam cara pandang. Kadang, ada orang yang tidak bisa membedakan antara kondisi disabilitas bawaan atau sakit karena faktor lain.Â
Banyak juga orang yang tanpa basa-basi langsung bertanya sangat banyak soal kondisi disabilitas seseorang, meski seharusnya tidak perlu ditanyakan, kecuali kotak empatinya memang sudah rusak. Kalaupun bisa dijawab, tidak semua mau atau cukup kuat secara mental, untuk bercerita barang sedikit.Â
Apa boleh buat, disabilitas yang sejatinya merupakan kondisi berkebutuhan khusus kadang dianggap sebagai satu keadaan "sakit" secara fisik. Jadi, jangan kaget kalau banyak perusahaan masih saja leluasa "memanfaatkan" pandangan keliru ini, lewat syarat "sehat jasmani dan rohani" di persyaratan kerja.
Sebuah syarat yang secara alami jadi tanda verboden halus buat difabel, tapi masih dianggap sebagai satu hal wajar di Indonesia.
Akibatnya, kesempatan difabel untuk mendapat pekerjaan tetap dan penghasilan layak masih menjadi satu kesulitan.Â
"Keterbatasan" yang sebenarnya merupakan satu kondisi khusus, kadang secara brutal diinterpretasikan sebagai satu keadaan tidak berdaya.Â
Di tingkat sekolah saja, masalah diskriminasi kadang masih jadi budaya. Jangankan kepada difabel, masalah "bullying" kepada siswa yang normal secara fisik saja masih ada, bahkan masuk berita di media massa.Â
Jadi, jangan kaget kalau perilaku diskriminatif seperti itu berlanjut jadi budaya negatif, karena sudah ada sejak dini. Kalaupun ada tindakan, itu lebih sering ada ketika ada korban atau dampak cukup fatal.
Kembali ke program capres-cawapres untuk difabel, sebenarnya ide yang dihadirkan ketiga pasangan capres-cawapres bisa menjadi satu ide utuh yang menarik, karena mencakup aspek aturan perundangan, aksesibilitas, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Semua ide ini sebenarnya sudah mencakup kebutuhan difabel secara umum, tapi bisa berakhir seperti yang sudah-sudah, jika tak mengatasi akar masalah.
Akar masalah itu berupa budaya inklusif yang belum benar-benar membudaya, karena masih kalah dengan budaya diskriminatif yang lebih dulu eksis, bersama aneka keruwetan lain.
Padahal, di luar semua janji hebat kandidat di panggung pemilu, difabel pada dasarnya lebih membutuhkan satu dukungan moral dan budaya, untuk bisa membaur dengan masyarakat, karena mereka pada dasarnya juga merupakan bagian dari masyarakat.
Buat apa ada banyak program bagus, kalau penerima programnya masih rawan kena diskriminasi dan kesulitan membaur di masyarakat?
Selama budaya diskriminatif belum juga bisa diganti dengan budaya inklusif sampai ke level terendah, rasanya semua program pasangan capres-cawapres (untuk difabel) di Pemilu 2024 hanya akan jadi sesuatu yang "too good to be true", sehingga sulit diwujudkan.
Kalau sudah begini, satu-satunya momen menyenangkan bagi difabel di masa pemilu hanyalah saat janji kampanye terucap. Selebihnya, tak banyak yang bisa diharapkan, karena masalahnya tetap ada, janjinya tetap sama, tanpa ada perbaikan berarti dari pemilu ke pemilu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H