Banyak juga orang yang tanpa basa-basi langsung bertanya sangat banyak soal kondisi disabilitas seseorang, meski seharusnya tidak perlu ditanyakan, kecuali kotak empatinya memang sudah rusak. Kalaupun bisa dijawab, tidak semua mau atau cukup kuat secara mental, untuk bercerita barang sedikit.Â
Apa boleh buat, disabilitas yang sejatinya merupakan kondisi berkebutuhan khusus kadang dianggap sebagai satu keadaan "sakit" secara fisik. Jadi, jangan kaget kalau banyak perusahaan masih saja leluasa "memanfaatkan" pandangan keliru ini, lewat syarat "sehat jasmani dan rohani" di persyaratan kerja.
Sebuah syarat yang secara alami jadi tanda verboden halus buat difabel, tapi masih dianggap sebagai satu hal wajar di Indonesia.
Akibatnya, kesempatan difabel untuk mendapat pekerjaan tetap dan penghasilan layak masih menjadi satu kesulitan.Â
"Keterbatasan" yang sebenarnya merupakan satu kondisi khusus, kadang secara brutal diinterpretasikan sebagai satu keadaan tidak berdaya.Â
Di tingkat sekolah saja, masalah diskriminasi kadang masih jadi budaya. Jangankan kepada difabel, masalah "bullying" kepada siswa yang normal secara fisik saja masih ada, bahkan masuk berita di media massa.Â
Jadi, jangan kaget kalau perilaku diskriminatif seperti itu berlanjut jadi budaya negatif, karena sudah ada sejak dini. Kalaupun ada tindakan, itu lebih sering ada ketika ada korban atau dampak cukup fatal.
Kembali ke program capres-cawapres untuk difabel, sebenarnya ide yang dihadirkan ketiga pasangan capres-cawapres bisa menjadi satu ide utuh yang menarik, karena mencakup aspek aturan perundangan, aksesibilitas, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Semua ide ini sebenarnya sudah mencakup kebutuhan difabel secara umum, tapi bisa berakhir seperti yang sudah-sudah, jika tak mengatasi akar masalah.
Akar masalah itu berupa budaya inklusif yang belum benar-benar membudaya, karena masih kalah dengan budaya diskriminatif yang lebih dulu eksis, bersama aneka keruwetan lain.
Padahal, di luar semua janji hebat kandidat di panggung pemilu, difabel pada dasarnya lebih membutuhkan satu dukungan moral dan budaya, untuk bisa membaur dengan masyarakat, karena mereka pada dasarnya juga merupakan bagian dari masyarakat.