Musim 2023-2024 memang baru menuju separuh jalan. Tapi, itu sudah cukup membuat fans Manchester United menikmati sensasi ketar-ketir bak naik wahana "roller coaster".
Ada kalanya mereka tampil bagus seperti tim papan atas, dan ada kalanya tampil sangat seadanya, seperti tim papan tengah.
Tentu saja, ada banyak faktor di sini, yang ikut memengaruhi. Bisa karena performa lawan lebih baik, cedera pemain, jadwal padat, atau yang lainnya.
Tapi, dari semua faktor yang ada, sosok Andre Onana menjadi satu "pembeda" dengan pengaruh cukup besar.
Pada awal kedatangannya, kiper asal Kamerun itu digadang-gadang membawa modernitas di bawah mistar. Satu atribut yang menjadi wujud idealisme taktik Erik Ten Hag di Manchester United, sekaligus menjadi tren taktik kekinian.
Kurang lebih seperti apa yang sudah ditampilkan Ederson dan Alisson bersama Manchester City dan Liverpool dalam beberapa tahun terakhir.
Maklum, selain punya refleks bagus, Onana juga nyaman membawa bola di kakinya. Untuk ukuran kiper, akurasi operannya juga lumayan oke.
Nilai plus lainnya, kiper kelahiran tahun 1996 ini sudah pernah dilatih Erik Ten Hag di Ajax Amsterdam antara tahun 2017-2022. Kerja sama keduanya pun cukup sukses, karena jagoan Belanda itu mampu mencatat hat-trick juara Eredivisie, dan lolos ke semifinal Liga Champions.
Dengan latar belakang seperti itu, normalnya seorang pemain bisa mengeluarkan performa terbaik dan bisa lebih cepat beradaptasi. Wajar juga kalau Ten Hag sampai berani melepas David De Gea, yang merupakan seorang kiper bergaya klasik.
Tapi, pemain jebolan akademi La Masia ini justru tampak kesulitan. Memang, ada kalanya ia bermain bagus, bahkan terpilih sebagai "Man of The Match". Tapi, blunder dan catatan kebobolannya masih jauh lebih banyak.
Untuk ukuran kiper tim finalis  Liga Champions musim 2022-2023, yang ditransfer dengan harga 47 juta pounds, performanya  masih jauh panggang dari api. Jangankan solid, konsisten saja masih kesulitan.
Pada titik tertentu, eks kiper Inter Milan ini juga terlihat seperti kebingungan. Padahal, seorang kiper bertipikal modern biasanya cukup proaktif, bahkan cenderung "cerewet" dalam mengatur pertahanan.
Jadi, seharusnya ada peran yang saling mengisi di sini. Saat performa kiper kurang  maksimal, lini belakang bisa meng-cover kekurangan itu, begitu juga sebaliknya.
Sejauh ini, peran dan fungsi dasar Onana sebagai seorang kiper modern masih belum berjalan optimal. Tidak ada komunikasi apalagi kerja sama cukup baik, dan itu cukup terekspos di dua laga terakhir Setan Merah.
Setelah sebelumnya dipaksa bermain imbang 3-3 melawan Galatasaray di Liga Champions, dengan Onana membuat sepasang blunder fatal, United kembali dipaksa menelan pil pahit, usai kalah 0-1 dari Newcastle United di Liga Inggris, Minggu (3/12, dinihari WIB).
Sepasang hasil negatif ini dengan cepat menutup "hype" yang muncul, berkat kemenangan beruntun tanpa kebobolan di dua laga sebelumnya. Tak ada lagi puja-puji pada gol akrobatik Alejandro Garnacho atau performa solid Harry Maguire, karena United sedang kembali ke mode lawak.
Tak heran, meme kocak soal performa Onana pun kembali bermunculan di dunia maya. Sudah turun peringkat di klasemen, terancam masuk kotak di fase grup Liga Champions, jadi bulan-bulanan pula.
Satu-satunya hal yang menyelamatkan adik Nana Onana (eks pemain Persija Jakarta) ini hanya dukungan nonstop sang pelatih kepadanya. Meski performanya naik-turun, Ten Hag terus membelanya.
Pelatih asal Belanda itu bahkan terus memainkan sang kiper tanpa ragu, sekalipun masih punya Altay Bayindir di bangku cadangan. Bayindir sendiri datang hampir bersamaan dengan Onana, setelah menjalani kiprah cukup sukses bersama Fenerbahce (Turki).
Sikap "koppig" pelatih plontos itu sendiri bisa dimengerti, karena Onana adalah bagian dari rencana besar taktiknya. Tapi, terlalu kukuh pada idealisme, di klub yang belakangan sangat menuntut hasil akhir, jelas sebuah kesalahan.
Untuk membangun satu sistem jelas butuh waktu, dan Si Setan Merah bukan jenis klub yang cukup sabar soal ini. Pelatih berpengalaman sekelas Louis Van Gaal dan Jose Mourinho saja terbukti gagal.
Jangankan soal sistem, soal kiper saja, United punya catatan cukup rumit. Sebelum era Edwin Van Der Sar dan David De Gea, mereka pernah kesulitan saat ditinggal pergi Peter Schmeichel di awal 2000-an, seperti yang dialami saat ini.
Pada periode ini, kiper juara Piala Dunia macam Fabien Barthez (Prancis) saja dianggap kurang sukses.
Lebih jauh, sang meneer juga bisa dibuat lebih pusing, andai Onana dipanggil Timnas Kamerun di Piala Afrika awal tahun 2024. Kebetulan, sang kiper belum lama memutuskan kembali dari masa pensiun di tim nasional.
Jika situasi terus memburuk dan Ten Hag terpaksa harus pergi, rasanya Onana juga akan menyusul pergi, karena tak punya lagi dukungan kuat. Andai itu terjadi dalam waktu dekat, Onana akan jadi satu transfer gagal termahal di sektor kiper.
Di sisi lain, periode sulit Onana di Old Trafford membuktikan, tak selamanya sebuah fitur futuristik bisa langsung klik dengan sebuah ide besar sistem. Ada yang memang butuh waktu dan perbaikan khusus supaya klik, dan ada yang memang dari sananya sudah tidak klik.
Dalam beberapa kasus, fitur ini bisa dipaksakan menyatu dengan yang sudah ada, tapi, suatu saat ia akan jadi sumber masalah dan titik lemah, karena pada dasarnya memang sudah tidak kompatibel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H