Tanpa diduga, jawaban yang diberikannya justru membuatku seperti punya sayap di pundak.
"Sama-sama. Sesial-sialnya kamu, pasti tetap ada batasnya."
Kata-kata ini membuatku seperti "diruwat" dari berbagai kesialan selama ini. Aku ingat betul, malam itu, secangkir kafein yang kuminum seperti ikut berpesta dengan rasa syukur dan gembira di hatiku.
Meski akhirnya baru bisa tidur saat dini hari, ini adalah satu situasi susah tidur yang membahagiakan. Andai ini mimpi, semoga aku tak cepat terbangun dan kembali ke realitas seperti biasa.
Syukurlah, saat akhirnya bisa tidur dan bangun lagi, memori itu masih ada. Ini bukan mimpi, ini adalah sebuah katalis harapan.
Ternyata, potongan lirik lagu "Senja Teduh Pelita" ini bukan rangkaian kata picisan.
Kita dibawah hujan
Langit tetap benderang
Pelangi pun datang menjelang
Kita merayu malam
Jangan sedih tenggelam
Bulan sabit beri senyuman
Kita meminta waktu
Satu hari berhenti
Satu masa dia memberi
Setelah momen ini, semua memang bergulir begitu saja. Dari kebetulan ke kebetulan, semesta mengatur semuanya, seperti sedang merangkai sebuah kalung edisi terbatas, yang hanya ada satu.
Entah sejauh mana cerita bak dongeng ini akan berlanjut, tapi, jika ini memang harus dijalani, semoga semua berjalan sesuai yang sudah ditetapkan. Paling tidak, kami bisa menemukan, kenapa perjumpaan ini boleh terjadi.
Karena, segala sesuatu yang boleh terjadi, biasanya punya maksud tersendiri, dan itu baru bisa disadari setelah dialami, kecuali jika kita diperkenankan mengalami rangkaian situasi "weruh sadurunging winarah" (Jawa: melihat sebelum mengalami) dan "dejavu" oleh Sang Tuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H