Judul di atas adalah satu pendapat usil saya, yang muncul segera setelah nomor urut paslon Pilpres 2024 ditetapkan KPU, Selasa (14/11) lalu.
Segera setelah ketiga pasangan Capres-Cawapres itu mendapat nomor urut, sekaligus ditetapkan KPU sebagai kontestan Pilpres 2024, ada begitu banyak numerolog, entah betulan atau gadungan, muncul dengan membawa beragam narasi.
Di satu sisi, fenomena ini sebenarnya sudah biasa terjadi, dan sudah membudaya. Satu hal yang konsisten di sini hanya sifatnya yang sugestif.
Soal benar atau tidaknya narasi yang disampaikan, itu tidak penting, karena "fakta" bukan hal utama.
Selama mampu menambah kepercayaan diri suporter Capres-Cawapres dan menciptakan opini publik positif, sebuah narasi paling bohong sekalipun akan tetap dilihat sebagai satu kebenaran.
Dulu, ini adalah sebuah teori propaganda klasik, tapi di era media sosial seperti sekarang, ini adalah satu fenomena wajar. Fakta kadang hanya berfungsi sebagai satu kartu truf untuk menjatuhkan lawan.
Semakin banyak dan kuat sugesti yang diberikan, semakin kuat juga keyakinan yang bisa dibangun. Otomatis, fanatisme pun tumbuh dengan sendirinya.
Sekalipun kadang bergesekan dengan klenik dan cocoklogi, selama itu menguntungkan jagoan sendiri dan bisa "menyerang" jagoan lain, kekuatan kata-kata tetap tak bisa dianggap remeh.
Apalagi, kalau para ahli sudah ikut turun tangan. Dengan sedikit tambahan bumbu, termasuk hoaks, narasi cocoklogi paling tidak masuk akal sekalipun bisa beraroma sedap.
Rasanya? Entahlah.