Sebagai penonton pertandingan sepak bola di layar kaca, publik sepak bola nasional mungkin sudah terbiasa dengan suara komentator berbahasa Indonesia, setiap kali ada turnamen sepak bola di Indonesia, terutama saat Timnas Indonesia (termasuk tim junior) beraksi.
Bonusnya, ada suasana heboh, dan komentar yang kadang bisa mengundang tawa, karena membuat sebuah pertandingan sepak bola serasa sajian "stand up conedy".
Tapi, di Piala Dunia U17, hadir nuansa berbeda, berkat adanya "English commentary" dalam pertandingan, termasuk saat Timnas U-17 bertanding.
Pada kasus saya, pengalaman ini awalnya hadir secara tidak sengaja. Tepatnya setelah membeli paket "add-ons" khusus Piala Dunia U-17 di platform layanan streaming Vidio.
Alhasil, ketika menonton laga Timnas Indonesia U-17 versus Ekuador, untuk pertama kalinya, saya menikmati aksi Tim Garuda di Indonesia, dengan versi "English commentary". Terdengar aneh, tapi justru membuat pertandingan terasa lebih "lezat" untuk dinikmati.
Tidak ada bumbu candaan atau heboh berlebihan. Tidak ada juga komentar terlalu bias atas nama "nasionalisme". Semua terasa mengalir dan objektif, berkat kompetensi dan netralitas wajar sang komentator.
Dari sang komentator juga, kita bisa mendapat informasi yang pas. Misalnya, ketika komentator memperkirakan, durasi injury time babak kedua minimal 10 menit, ada penjelasan mengapa demikian, terutama karena permainan yang sering berhenti akibat pemain cedera, ada pelanggaran, dan banyak pergantian pemain.
Jadi, tidak ada kebingungan saat wasit ternyata memberikan injury time 13 menit, yang pada gilirannya bertambah menjadi 15 menit. Dari pengalaman ini juga, penonton bisa lebih teredukasi, soal faktor apa saja yang menjadi pertimbangan tim wasit menetapkan durasi injury time.
Ini baru soal durasi injury time. Belum termasuk beragam aspek lain.
Di sinilah, tayangan olahraga sepak bola bisa menjadi sebuah tontonan mendidik sekaligus menghibur. Sayangnya, aspek edukasi ini masih belum konsisten diterapkan para komentator olahraga (khususnya sepak bola) nasional, karena tuntutan pasar masih lebih kuat dari manfaat edukatif yang bisa diberikan.
Dengan dinamika dunia bisnis (termasuk bisnis siaran televisi) yang sangat menuntut profit sebanyak mungkin demi tetap eksis, mengikuti tuntutan pasar memang jadi rumus survival paling mendasar, karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Tapi, karena tontonan olahraga juga menghadirkan sebuah tuntunan, sudah seharusnya manfaat dan fungsi edukatif juga perlu dikedepankan, karena memang menjadi hak masyarakat sebagai konsumen.
Menariknya, dari perbedaan situasi antara "English commentary" dan komentator berbahasa Indonesia, kita seperti diajak melihat dari dekat, perbedaan apa saja yang ada, dan kekurangan apa saja yang bisa diperbaiki komentator sepak bola di televisi nasional.
Kalau semua pihak mau melihat lebih cermat dan belajar, Piala Dunia U-17 seharusnya bisa jadi momentum perbaikan kualitas buat komentator olahraga (khususnya sepak bola) nasional, supaya bisa menghadirkan satu tontonan yang sekaligus jadi tuntunan buat masyarakat Indonesia.
Sudah saatnya objektivitas dibudayakan, karena bias (apalagi yang cenderung berlebihan) itu tidak baik untuk dibiasakan. Jangan sampai, penonton di layar kaca nasional terlanjur terbiasa menikmati pertandingan tanpa suara komentator, karena terlanjur merasa tak nyaman.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H