Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

K-Rewards dalam Sebuah Refleksi

7 November 2023   23:04 Diperbarui: 7 November 2023   23:37 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ide awal tulisan ini datang dari satu obrolan dengan seorang Kompasianer, ditambah postingan dan suara di kolom komentar dari beberapa Kompasianer, soal peraih K-Rewards bulan Oktober 2023.

Dalam obrolan ini, kami sama-sama dibuat heran, karena ada seorang Kompasianer yang sudah menulis lebih dari 200 artikel, hanya  dalam waktu kurang dari sebulan, dan  tercatat mendapat K-Rewards terbanyak di bulan Oktober 2023.

Kalau melihat frekuensi dan catatan statistiknya, capaian ini jelas luar biasa. Ternyata, ada juga penulis yang kuat menulis 10 artikel atau lebih dalam sehari, tanpa menggunakan teknik "split" atau membagi satu tulisan panjang menjadi beberapa bagian, misalnya Bagian 1, Bagian 2, dst.

Sedikit pengetahuan soal teknik "split" ini dulu saya dapat dari seorang Kompasianer senior, yang kebetulan memang pernah berkecimpung di industri media. Secara aplikatif, teknik ini pernah saya gunakan pada beberapa tulisan panjang saya di Kompasiana, yang saya posting ulang di sebuah platform "news aggregator".

Biasanya, saya memposting dulu tulisan tersebut di Kompasiana, baru diposting di laman "news aggregator" tersebut. Dengan demikian, saya bisa mengatur "stamina menulis" supaya tak cepat habis, khususnya di periode sibuk.

Dalam perjalanannya, frekuensi menulis saya di sana malah berhenti sama sekali, segera setelah upah pertama (dan satu-satunya) cair.

Penyebabnya, segera setelah itu, saya harus berangkat kerja ke Jakarta, dan hanya sempat menulis sesekali di Kompasiana. 

Belakangan, platform "news aggregator" itu sendiri tutup buku di sepertiga akhir tahun 2020, saat pandemi menyerang.

Uniknya, perjalanan waktu justru membuktikan, menulis di Kompasiana menjadi satu hal yang masih awet bagi saya. Selain karena moderasinya tidak ribet, Kompasiana juga menghadirkan ruang interaksi organik, baik dengan admin atau sesama Kompasianer, entah di media sosial atau secara langsung. 

Bagi saya pribadi, semua hal ini sudah memberi rasa nyaman seperti di rumah sendiri. Jadi, mau dapat K-Rewards atau tidak, saya tidak peduli. Saya malah jauh lebih takut kalau tulisan saya kena semprit akibat melanggar aturan.

Kembali ke sang Kompasianer pemenang hadiah K-Rewards terbanyak. Setelah saya amati sekilas, secara umum, sebenarnya tak ada yang istimewa dari materi tulisannya, selain kuantitas yang luar biasa.

Terlalu banyak informasi berupa data umum yang disampaikan, dan itu lebih layak diposting di platform media atau "news aggregator" daripada di platform yang menjadi ruang "jurnalisme warga". Jadi, wajar kalau dari 200 lebih tulisan itu, admin Kompasiana tak memberi satupun label pilihan, apalagi artikel utama. 

Tapi, kalau melihat frekuensi tulisan, statistik jumlah klik, dan frekuensi masuk daftar artikel terpopuler, bisa dibilang si pemenang K-Rewards terbanyak bulan Oktober 2023 ini sudah terbiasa menjadi kontributor di media online atau semacamnya, dan punya keterampilan SEO yang cukup terlatih.

Kebetulan, soal tuntutan menulis dalam frekuensi tinggi pernah beberapa kali saya jumpai, saat iseng-iseng mendaftar menjadi penulis di media lewat Jobstreet. 

Persyaratannya terbilang mudah, karena tidak mengharuskan seseorang punya latar belakang pendidikan jurnalistik. Dalam proses rekrutmen, ada pelatihan dasar selama beberapa hari, dan kewajiban "setor" minimal 10 artikel sehari.

Dalam pelatihan dasar itu, terdapat sedikit pelajaran teknis, termasuk bagaimana tips mengoptimalkan kata kunci dalam artikel (atau yang biasa disingkat SEO) dan membuat judul "clickbait", supaya artikel tersebut bisa berada di halaman awal mesin pencari, mendapat banyak klik dan (otomatis) menghasilkan banyak uang.

Semakin seorang penulis artikel terlatih dan menguasai seluk-beluk SEO, semakin mudah artikelnya masuk trending di mesin pencari. Semakin banyak juga pemasukan yang datang. 

Sekilas, pelatihan dan kesempatan ini menarik secara finansial, tapi sebagai seorang "tukang nulis" yang terbiasa merangkai kata dari huruf ke huruf, dan betul-betul memikirkan ide dari nol, dengan "stamina menulis" terbatas, hati saya keberatan. 

Memang benar, bahan tulisan, jumlah klik, dan algoritma mesin pencari bisa diakali, tapi perasaan tak pernah bisa bohong. Saya  tak sampai hati membuat 10-20 tulisan sehari, hasil comot sana-sini, tapi tak ada diri saya di tulisan sebanyak itu.

Mungkin, nilai materi yang didapat akan lebih banyak, tapi itu terlalu murah jika harus dibayar dengan hilangnya rasa nyaman dan sentuhan kreatif dalam menulis secara perlahan.

Disadari atau tidak, fenomena artikel kejar setoran ini ikut berkontribusi negatif pada masyarakat, karena terlalu banyak tulisan asal jadi dan cenderung menyesatkan, yang sudah lebih dulu menguras minat baca, sebelum akhirnya sampai pada tulisan berkualitas. 

Kalau sudah begini, bagaimana minat baca dan kualitas literasi masyarakat akan naik?

Menulis sendiri adalah satu cara menemukan diri sendiri. Makanya, menulis jadi satu terapi psikologi yang banyak disarankan psikolog, untuk rutin dilakukan, demi menjaga kesehatan mental. 

Jadi, kalau menulis justru membuat seseorang kehilangan dirinya, berhenti menulis tinggal soal waktu, dan itu akan bersifat permanen. Bukan seperti jurus "prank", "saya pamit", lalu tak lama "saya kembali" sampai ratusan kali.

Bicara soal intensitas menulis, setiap orang pasti punya ukuran masing-masing. Ada yang terbiasa menulis tiap minggu, tiap bulan, bahkan tiap hari. Tergantung bagaimana situasi dan kondisinya.

Karena sisi relatif inilah, frekuensi sangat tinggi dalam menulis seharusnya tidak perlu ditakuti, apalagi kalau itu produk dari budaya dan sistem kejar setoran.

Di sisi lain, fenomena artikel "kejar setoran" ini seharusnya jadi peringatan buat admin Kompasiana, untuk lebih berhati-hati, supaya tidak kecolongan lebih banyak dari problem serupa, khususnya oleh pihak yang terampil soal optimasi SEO.

Menjadi viral memang menguntungkan, tapi seharusnya itu bukan tujuan akhir, karena sifatnya "sekali berarti, sudah itu mati", alias tidak berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun