Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sisi Lain Masalah Literasi Kita

20 Oktober 2023   15:55 Diperbarui: 20 Oktober 2023   15:59 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Infografis di atas mungkin terlihat miris, karena menempatkan Indonesia di peringkat 71 dari 75 negara dalam hal minat baca. Meski ini merupakan hasil penelitian tahun 2018, masalahnya masih relevan hingga sekarang.

Pada tingkat lebih tinggi, minat baca rendah juga menjadi pemicu rendahnya minat seseorang menjadi penulis. Seperti diketahui, menulis sendiri adalah tahap lanjut dari membaca.

Sebagai seorang "tukang nulis", saya sendiri menjumpai, ada setidaknya dua akar masalah, yang membuat menulis jadi terlihat sebegitu menakutkan.

Pertama, ada kecenderungan untuk membatasi seseorang bebas beropini dengan kata-kata sendiri, bahkan pada peristiwa yang dilihat langsung (misal: siaran "breaking news", cuplikan berita atau pertandingan olahraga di televisi).

Dalam beberapa kasus, kecenderungan ini dibatasi oleh "ketiadaan referensi data ilmiah" yang bersifat empiris. Padahal, beropini pada apa yang dilihat langsung seharusnya hanya membutuhkan sudut pandang murni si penulis.

Dengan kata lain, ada keberanian untuk bersuara, walau hanya lewat rangkaian kata, yang perlu dihidupkan sebagai langkah pertama. Ini mungkin terdengar klise, tapi menjadi satu langkah penting untuk membangun kepercayaan diri dan kebiasaan menulis.

Meski di awal masih belepotan sekalipun, kepercayaan diri akan jadi bahan bakar ampuh, yang akan mendorong seseorang untuk berkembang. Entah belajar otodidak atau tidak, punya bakat khusus atau tidak, selalu ada langkah pertama dari ribuan atau jutaan langkah.

Kalau mau melangkah pertama kali saja sudah dijegal dengan hal-hal yang sifatnya terlalu teknis, jangan kaget kalau banyak orang yang awalnya bersemangat jadi enggan, bahkan trauma.

Situasinya sama seperti bocah usia SD yang baru masuk akademi sepak bola dan belum pernah latihan sama sekali, tapi  sudah dipaksa berhadapan langsung dengan pemain pro di partai resmi.

Hasilnya, babak belur luar dalam. Sudah jadi bulan-bulanan secara fisik dan mental, masih juga ditambah kalah memalukan. Bukannya berkembang, yang ada malah tamat karena trauma.

Itulah mengapa, di banyak negara maju, ada akademi sepak bola dengan beragam kategori kelompok umur yang sifatnya berjenjang, sebagai persiapan menuju level senior atau profesional.

Berangkat dari masalah yang kadung membudaya ini, wajar kalau pada prosesnya, ada lebih banyak penulis nonfiksi yang memilih "main aman" dengan menulis artikel diary atau "tips & tricks" daripada beropini sebagai diri sendiri.

Kalaupun ada ruang bebas, itu hanya ada di media sosial, yang jelas bebas aturan teknis, kecuali kalau kena report pengguna lain.

Jadi, jangan kaget juga kalau minat membaca (apalagi menulis) tidak kunjung naik. Sistem yang ada tidak dirancang untuk mendukung minat dan bakat itu, apalagi sampai mengembangkannya secara berkelanjutan.

Kalaupun ada pengakuan, itu lebih banyak diberikan kepada pemenang penghargaan. Makanya, kita kadang menjumpai ada penulis yang begitu rajin dan berambisi mengejar, tapi menghilang setelah menang penghargaan.

Memang, ini bisa menginspirasi, tapi tidak menghasilkan dampak berkelanjutan, karena wujudnya bukan siklus sirkular, tapi siklus putus-sambung bin tambal sulam. Sekali tak ada yang meneruskan, balik kanan bubar jalan.

Akar masalah kedua, datang dari penempatan posisi antara tulisan dan pembaca. Disadari atau tidak, sebagian penulis kadang menempatkan diri lebih tinggi dari pembaca, sehingga kadang terlihat lebih "pintar".

Kalau konteksnya jurnal ilmiah, memang ada aturan baku soal tata bahasa dan teknis, tapi jurnal ilmiah menjadi terkesan eksklusif di kalangan akademisi saja, karena aturan baku yang ada tidak diimbangi dengan interpretasi yang luwes dan bisa dipahami semua kalangan.

Padahal, sebuah tulisan (seharusnya) "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" dengan pembaca, sehingga pembaca bisa mengikuti alur dan memahami tulisan tersebut.

Dengan posisi seperti ini, pembaca akan bisa merespon sebuah tulisan dengan tepat, bahkan bisa membuat tulisan tanggapan atau sanggahan yang sesuai. Sama seperti sebuah obrolan dua arah yang sehat.

Terkait interpretasi jurnal ilmiah ke dalam tulisan seperti artikel, beberapa waktu lalu, saya mendapat satu pengalaman terapan, ketika seorang teman lama, yang berkecimpung sebagai akademisi di bidang teknik elektro, meminta saya membuat satu tulisan seputar isu tentang kecerdasan buatan, dengan memakai referensi jurnal ilmiah yang diberikannya.

Sebenarnya, dia ingin menuliskan ide di kepalanya, tapi bingung saat harus menginterpretasikan ke dalam tulisan, terutama jika tulisan itu dilempar ke ruang publik seperti Kompasiana.

Sebagai seorang "tukang nulis" aliran otodidak, saya jelas butuh waktu untuk "menyederhanakan" topik yang tidak biasa ini, sehingga bisa dibaca dan diikuti, syukur-syukur bisa dipahami dengan baik oleh pembaca.

Alhasil, referensi jurnal ilmiah yang saya gunakan lalu saya coba sinkronkan dengan hal-hal yang familiar tapi tetap relevan dengan pembaca, dalam konteks pembaca di Indonesia.

Mulai dari Doraemon, Suzanna, mati listrik sampai dinamika soal perkembangan teknologi, semuanya saya padukan dalam satu tulisan berikut di Kompasiana, lengkap dengan sedikit bumbu candaan.

Mungkin, cara interpretasi saya di tulisan itu tidak sesuai kaidah teoritis, tapi sebagai penulis saya bertanggung jawab membuat tulisan saya bisa dipahami sebanyak mungkin pembaca.

Karenanya, saya bersyukur ketika teman saya (yang biasanya sangat serius) bisa tertawa puas saat membaca tulisan itu. Begitu juga saat ada beberapa Kompasianer memberikan penilaian dan ada yang mengomentari secara tepat sasaran.

Rasanya luar biasa. Seperti mencetak gol dari tendangan pojok alias "Gol Olimpik".

Mendapat sedikit klik tapi (minimal) sebagian pembaca paham selalu jauh lebih baik, daripada punya banyak klik tapi sangat sedikit pembaca yang paham.

Sebuah tulisan "berat" yang tidak bisa dipahami pembaca adalah sebuah kegagalan, sama seperti sebuah tulisan ringan yang kosong karena "asal jadi".

Berangkat dari pengalaman ini (dan beragam pengalaman menulis lainnya) saya melihat, menulis tidak selamanya harus berkaitan dengan hal-hal yang sangat "textbook".

Meski membutuhkan daya pikir, menulis juga membutuhkan daya cipta dan rasa, supaya menjadi lebih hidup, bahkan bermanfaat.

Karenanya, untuk menumbuhkan minat dan budaya menulis di awal, tidak boleh ada lagi belenggu soal "referensi data ilmiah" yang menjerat. Biarkan semua berkembang dengan alamiah, sampai topik berat bisa dikemas dalam tulisan ringan.

Pada dasarnya, menulis itu simpel, yang membuatnya terlihat sulit hanyalah belenggu urusan teknis semacam ini, dan aneka persepsi di sekitarnya.

Selama mau melangkah pertama kali saja sudah dijegal sampai jatuh, membudayakan menulis masih akan menjadi sebuah mimpi mustahil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun