Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Batas Usia Capres-Cawapres, Sebuah Urgensi

15 Oktober 2023   12:22 Diperbarui: 15 Oktober 2023   12:26 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa hari terakhir, pembahasan soal Syarat Usia Capres Cawapres cukup banyak muncul. Salah satu penyebabnya datang dari uji materi batas minimal usia Capres-Cawapres, yang saat ini berada di angka 40 tahun.

Sebenarnya, ini ide yang cukup menarik, karena jika misal seorang kandidat berusia 30-39 tahun, ada kesempatan untuk mengurangi gap generasi terlalu jauh, yang selama ini sudah lama menjadi masalah.

Disadari atau tidak, masalah gap generasi ini sudah lama terjadi, dan membuat banyak hal serba tidak sinkron. Jika gap ini bisa diatasi, akselerasi pembangunan nasional dan peningkatan efisiensi kinerja antarlembaga pemerintah (seharusnya) akan lebih optimal.

Dengan dihapusnya gap generasi, regenerasi di dunia politik nasional juga akan lebih mulus, sehingga bisa terus relevan dengan dinamika yang ada.

Tapi, kalau mau adil, selain batas bawah, seharusnya batas atas usia juga perlu diperhatikan. Dalam dunia profesional saja, ada batas usia pensiun, dengan rentang usia 55-65 tahun, yang bisa ditunda selama 5 tahun, dengan pertimbangan faktor regenerasi dan level kinerja.

Pertimbangan ini jelas bisa dipahami, karena pada rentang usia ini, sebagian orang rentan mengalami penurunan kondisi kesehatan atau kemampuan secara umum, karena faktor pertambahan usia.

Memang, ada cukup banyak tokoh nasional yang masih prima di usia lanjut, tapi kalau beban kerjanya terlalu berat, dampaknya akan kurang baik buat kesehatan. Terbukti, Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan (76) sampai harus dirawat di Singapura, karena kelelahan akibat beban kerja terlalu berat.

Batas usia pensiun ini sebenarnya sudah umum digunakan, termasuk di beragam profesi abdi negara, tapi belum pernah diterapkan untuk jabatan Presiden atau Wakil Presiden. Padahal, Presiden dan Wakil Presiden pada dasarnya adalah seorang abdi negara.

Jadi, seharusnya perlu ada juga batas atas usia untuk dua jabatan krusial ini. Apalagi, selain pengalaman dan keterampilan, dibutuhkan juga kondisi prima, karena negara yang dipimpin begitu luas.

Maka, bagi politisi senior yang masih getol berambisi menjadi presiden, sudah seharusnya mereka mulai mempertimbangkan untuk tidak terlalu ngotot "nyalon" setiap kali ada Pemilu. Bukan berarti tak layak, tapi akan lebih pantas kalau mereka ikut berperan aktif dengan cara lain.

Bisa menjadi "kingmaker", bisa juga membina generasi muda. Tidak harus berkuasa, tapi jika mampu menciptakan pemimpin berkualitas, itu akan jauh lebih berguna, daripada berkali-kali "nyalon" tapi "gagal maning, gagal maning ".

Dalam demokrasi yang sehat, setiap warga negara memang boleh maju Pemilu, selama memenuhi syarat. Tapi, masyarakat juga berhak mendapat alternatif pilihan figur yang layak, karena demokrasi sendiri pada dasarnya berorientasi pada rakyat.

Kalau rakyat terbiasa mendapat alternatif pilihan figur yang itu-itu saja, jangan kaget kalau mereka cenderung apatis, dan angka partisipasi Pemilu tidak optimal.

Apakah negara ini masih kekurangan sosok pemimpin yang kapabel? Kalau iya, berarti memang ada kekurangan yang perlu diperbaiki.

Jangan sampai Indonesia punya pemimpin yang keteteran saat bertugas karena faktor usia, seperti pada kasus Joe Biden (80). Presiden Amerika Serikat periode 2021-2025 ini sampai punya julukan "Sleepy Joe", karena sempat tertangkap kamera berada dalam kondisi tertidur, saat sedang wawancara atau rapat penting. 

Masih di negara yang sama, pada periode sebelumnya, Negeri Paman Sam juga sempat dipimpin Donald Trump, yang saat mulai bertugas berusia 71 tahun. Meski kondisinya terbilang fit, sosok nyentrik ini "dinobatkan" oleh sejumlah peneliti dan sejarawan Amerika Serikat, sebagai salah satu "Presiden terburuk dalam sejarah Amerika Serikat.".

Di benua Afrika , masalah seperti pada kasus Biden juga pernah dilihat dunia pada sosok Robert Mugabe (1924-2019), di tahun-tahun terakhirnya sebagai Presiden Zimbabwe, sebelum akhirnya dikudeta Emmerson Mnangagwa pada tahun 2017, dalam usia 93 tahun.

Secara umur demokrasi (dalam konteks demokrasi dengan kebebasan penuh), usia Indonesia memang masih muda, karena baru mulai merintis sejak Reformasi 1998.

Untuk ukuran sebuah negara, ini memang masih muda, tapi supaya bisa lebih berkembang, pembaruan seperti pada aturan batas usia Capres-Cawapres memang diperlukan, supaya negara ini bisa tetap relevan dengan dinamika perkembangan zaman, termasuk dalam membangun keunggulan kompetitif di tingkat internasional.

Jangan lupa, Indonesia punya potensi "bonus demografi" yang perlu dimanfaatkan secara optimal. Kalau sampai tak dimanfaatkan, potensi manfaat ini bisa jadi mudarat, hanya karena kesempatan generasi muda masih sangat dibatasi oleh faktor senioritas dan ketokohan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun