Hasilnya, Die Mannschaft belakangan tampil jeblok di turnamen mayor, dengan dua kali tersingkir di fase grup Piala Dunia (2018 dan 2022), tersingkir di perdelapan final Piala Eropa 2020. Sebuah capaian yang jelas mengingkari label tim spesialis turnamen yang selama ini melekat di tim tuan rumah Euro 2024.
Rapor merah itu makin kebakaran hebat, karena Leroy Sane dkk hanya mencatat satu kemenangan dan satu hasil imbang di enam pertandingan setelah Piala Dunia 2022, dengan catatan tanpa kemenangan di lima laga terakhir, termasuk kekalahan 1-4 saat menjamu Jepang di VW Arena, Minggu  (10/9, dinihari WIB) lalu.
Meski selalu mampu mendominasi penguasaan bola hilangnya efektivitas dan rapuhnya pertahanan terbukti telah menjadi sasaran empuk lawan. Di sini, pelatih Hansi Flick memang cukup banyak bereksperimen mencari kerangka terbaik tim.
Dengan status Jerman sebagai tuan rumah Euro 2024, mereka sudah lolos otomatis dan tak perlu ikut kualifikasi. Otomatis, laga uji coba internasional jadi satu-satunya tolok ukur persiapan menjelang turnamen, dan progres persiapan yang ada ternyata malah lebih jeblok dari performa tim di Qatar.
Maka, bukan kejutan kalau performa tim banyak dikecam. DFB (PSSI-nya Jerman) lalu bergerak mencopot Hansi Flick dari posisi pelatih, segera setelah kekalahan telak dari Jepang.
Untuk sementara, posisi eks pelatih Bayern Munich itu diisi sementara oleh Rudi Voller (eks pemain dan pelatih Timnas Jerman).
Untuk sosok pengganti definitif, nama Juergen Klopp masuk daftar pertimbangan, karena cukup sukses bersama Liverpool dan mampu memodifikasi taktik gegenpressing andalannya, yang kebetulan sesuai dengan kebutuhan Timnas Jerman saat ini.
Masalahnya, Klopp masih terikat kontrak sampai 2026 di Anfield, sehingga kemungkinan menjadi pelatih tim nasional cukup sulit terwujud, kecuali eks pelatih Borussia Dortmund itu hengkang dalam waktu dekat atau diperbolehkan rangkap tugas, setidaknya sampai Euro 2024 selesai.
Dengan reputasi sebagai salah satu tim nasional kelas dunia, tren jeblok Jerman belakangan ini cukup mirip dengan apa yang pernah terjadi di Timnas Italia, yang menurun drastis setelah juara Piala Dunia 2006.
Jika tak mau semakin tenggelam di masa depan, pembaruan menyeluruh memang dibutuhkan. Sama seperti yang pernah dilakukan setelah gagal lolos fase grup Euro 2004, dan berbuah manis sedekade kemudian.
Menariknya, apa yang dialami Timnas Jerman ini juga menunjukkan, seperti halnya aplikasi ponsel, sepak bola modern ternyata juga menuntut adanya satu pembaruan rutin, supaya sebuah tim nasional bisa tetap kompetitif.