Dalam sedekade terakhir, para pecinta sepak bola sudah menikmati berseminya tren taktik "counter pressing" dengan tempo tinggi dan transisi cepat sebagai kunci. Salah satu tim yang menjadi "trend setter" adalah Timnas Jerman.
Sejak Piala Dunia 2006 hingga puncaknya meraih trofi Piala Dunia 2014, Tim Panser konsisten menghadirkan gaya main modern berkecepatan tinggi, dengan mengandalkan pemain muda, yang kadang dipadukan dengan pemain senior.
Modernitas, ditambah standar tinggi yang ditampilkan membuat mereka biasa jadi unggulan di setiap turnamen yang diikuti. Punya sistem pembinaan pemain muda berkualitas, liga kelas top Eropa dan sistem pembinaan pelatih kelas satu menjadi modal paling kelihatan.
Terbukti, PSSI saja tak ragu menggandeng Jerman sebagai mitra kerja sama. Kehadiran Frank Wormuth sebagai Direktur Teknik Timnas Indonesia sudah sedikit menjelaskan, seberapa jauh perkembangan sepak bola di Jerman.
Meski begitu, modernitas yang dihadirkan Jerman belakangan mulai terlihat usang. Kekuatan dan intensitas tinggi memang masih ada, dalam bungkus permainan cantik.
Masalahnya, ini bukan lagi tim yang punya kreativitas dan daya serang mematikan. Mereka kerap menyerang sampai lupa diri, dan baru sadar setelah kebobolan.
Tak ada lagi kontrol yang membuat tim terlihat menakutkan, karena permainan cantik yang ditampilkan sudah banyak diekspos lawan. Tinggal pukul dengan serangan balik mematikan, selesai sudah.
Kelemahan yang ada semakin parah, karena tim belakangan cukup banyak direcoki urusan di luar lapangan. Mulai dari kontroversi yang membuat Mesut Ozil memutuskan pensiun dari Timnas sampai gaduh soal perkara ban kapten warna pelangi di Qatar.
Ditambah lagi, setelah kiprah generasi pemenang Piala Dunia 2014 tuntas, belum ada lagi penerus berkualitas sepadan.