Tak heran, wasit asal Jepang itu dirujak warganet suporter Indonesia sampai akun Instagram nya lenyap. Penyebabnya, Kasahara dinilai kurang adil saat bertugas sebagai wasit.
Soal bagaimana reaksi warganet ini, sebenarnya sudah bukan kejutan. Emosi yang muncul karena menonton pertandingan menemukan tempat pelampiasan di media sosial. Akun tokoh besar saja bisa kena, apalagi wasit pertandingan turnamen kelompok umur.
Masalahnya, situasi ini ternyata dimanfaatkan pihak tertentu, untuk membuat konten hoaks. Seperti biasa, judulnya bombastis, tapi isinya tak ada, malah cenderung menyesatkan, karena mencoba menggiring opini publik dengan kebohongan.
Tak tanggung-tanggung, berita hoaks itu sampai menyebut Kasahara diskors seumur hidup oleh FIFA. Sebuah informasi yang setelah dicek fakta di media terbukti hoaks.
Sanksi seumur hidup biasanya dijatuhkan pada wasit yang terbukti melakukan tindak pengaturan skor atau tindak kriminal lain, misalnya menganiaya pemain di lapangan.
Untuk pelanggaran karena urusan teknis, seperti pada aspek keputusan wasit, FIFA biasa memberlakukan aturan sendiri. Dengan catatan, kompetisi itu berada di dalam yurisprudensi dan agenda resmi FIFA.
Salah satu kasus terkenal terjadi di Liga Ekuador tahun 2003, saat Byron Moreno memberi injury time sampai 13 menit, dari yang seharusnya hanya 6 menit. Akibatnya, FIFA menjatuhkan skorsing 20 pertandingan kepada wasit berlisensi FIFA tersebut.
Untuk kasus Kasahara, FIFA jelas tak bisa memberi hukuman, karena Piala AFF U-23 merupakan turnamen kelompok umur di luar agenda resmi FIFA.
Jadi, narasi soal hukuman seumur hidup ini hanya sebuah pembodohan publik, dengan memanfaatkan reaksi atas kekalahan Timnas Indonesia U-23. Andai menang di final, sang wasit sudah pasti dapat puja-puji sampai berlebihan, dan akun medsos nya kebanjiran pengikut dari Indonesia.
Di satu sisi, nasionalisme memang penting buat sebuah bangsa, tapi jika terlanjur menjadi banal dan mengabaikan nilai sportivitas, termasuk dalam olahraga, itu jelas tak sehat untuk dibiasakan.
Kalau terus dibiasakan, ini bisa membuat publik sepak bola nasional mencari kambing hitam dari pihak lain, tanpa mau melihat kekurangan yang perlu diperbaiki.