Dalam beberapa tahun terakhir, minat baca masyarakat di Indonesia tergolong kurang tinggi. Akibatnya, membaca kadang masih dianggap sebagai satu aktivitas untuk kalangan tertentu.
Persepsi itu semakin kuat, ketika objek bacaan yang disebut adalah karya sastra. Harga buku yang mahal dan isi yang cenderung rumit (bagi sebagian orang) makin membuatnya terasa eksklusif.
Padahal, karya sastra, sebenarnya bersifat lintas batas. Masyarakat desa yang terbatas dalam hal akses maupun informasi, juga bisa dan berhak berbicara sastra.
Itulah semangat yang mendasari berdirinya Komunitas Lereng Medini (KLM) oleh Heri Chandra Santoso bersama Sigit Susanto, sahabat karibnya, di Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah. Dengan harapan, komunitas ini dapat menjadi wadah bagi pelajar desa, belajar sastra dan budaya.
Heri Chandra Santosa, yang lahir di Kendal, 22 Mei 1982 adalah jurnalis dan alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Sementara itu, Sigit Susanto merupakan pegiat kesusastraan asal Boja yang juga moderator milis "Apresiasi Sastra". yang dikenal sebagai seorang dalang wayang kulit ini bermukim di Swiss sejak tahun 1996.
Komunitas Lereng Medini (KLM) berdiri pada 2008. Nama Medini diambil dari nama pegunungan yang berada di Kecamatan Boja.
Sebelum berkembang menjadi sebuah komunitas, kehadiran KLM berawal dari sebuah perpustakaan gratis bernama "Pondok Maos", yang dibuka pada tahun 2006. Maos merupakan kosakata bahasa Jawa halus (krama inggil) yang berarti "Baca" atau "Membaca".
Perpustakaan ini berada di rumah Sigit, tepatnya di Jalan Raya Bebengan No. 221, Desa Bebengan, Boja. Koleksi bukunya sebagian besar berupa karya sastra, baik sastra Indonesia maupun asing. Bacaan ini merupakan medium perkenalan dalam belajar sastra.
Selain melakukan kajian sastra, anggota KLM juga membentuk kelompok baca, yang rutin membaca karya sastra secara kolektif. Dengan akses informasi belum optimal, khususnya di luar area perkotaan, kehadiran KLM dapat menjadi satu solusi efektif dalam membumikan karya sastra di masyarakat.
Bonusnya, masyarakat yang terlibat di komunitas ini juga akan terbudaya untuk membaca. Kebetulan, kunci paling awal dalam belajar sastra adalah membaca. Semakin seseorang terbiasa membaca, ia akan semakin nyaman dalam belajar sastra.
Lebih jauh, belajar sastra merupakan satu cara melestarikan warisan budaya. Dengan belajar sastra, seseorang sudah ikut merawat warisan budaya.
Pada gilirannya, seseorang yang sudah terbiasa membaca akan mulai tertarik berkreasi, membuat karya sastranya sendiri. Jika laris, ini akan menghadirkan satu lapangan kerja baru sebagai seorang penulis.
Diluar urusan membaca, belajar sastra juga bisa membuat daya pikir seseorang semakin terasah. Hasilnya, sudut pandang yang akan dihasilkan lebih objektif dan logis.
Di era kekinian, sudut pandang seperti ini menjadi alat bantu yang sangat berguna, untuk memilah mana informasi valid maupun hoaks. Alat bantu ini juga semakin relevan, karena kemajuan teknologi informasi membuat banyak informasi datang dari berbagai penjuru.
Dengan potensi manfaat besar yang dihadirkan KLM, wajar jika komunitas ini diganjar penghargaan Satu Indonesia Awards tahun 2011 oleh Astra. Mereka telah membuktikan, masyarakat di area pedesaan pun bisa belajar sastra dan terbudaya membaca, sepanjang punya dukungan memadai.
Semoga, semakin banyak komunitas serupa di Indonesia, supaya budaya membaca dan belajar sastra boleh semakin kuat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H