Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Koteka Trip Bersama KJOG, Sebuah Paket Kejutan

25 Agustus 2023   10:24 Diperbarui: 25 Agustus 2023   10:29 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Bersama GKR Bendara di Museum Wahanarata (Dok. KJOG & KOTEKA)

"Dari SMA mana, Mas?"

Begitulah pertanyaan yang pertama kali muncul dari guide, setibanya saya di dekat loket masuk wisata Keraton Yogyakarta, Rabu (23/8) lalu. Ternyata "the power of muka klimis" masih mampu memberi saya sedikit diskon umur.

Ketika itu, waktu sedang beranjak mendekati setengah jam selepas pukul 8 pagi. Di loket, sudah mengantri beberapa rombongan wisatawan domestik maupun mancanegara, yang akan melakukan tur wisata di Keraton Yogyakarta.

Meski bukan pertama kalinya menerima pertanyaan seperti itu, entah kenapa saya langsung mendapat firasat, ini akan jadi hari yang unik. Ternyata benar, setelah rekan-rekan dari KJOG, KOTEKA dan Faircle datang, kejutan demi kejutan datang bergantian.

Kejutan pertama datang, ketika tur wisata Keraton akan dimulai. Dengan cepat tanggap, pihak guide menyiapkan kursi roda untuk saya gunakan dalam tur wisata.

Tentu saja, ini sangat membantu, karena dalam durasi yang terbatas, saya bisa ikut menyesuaikan diri dengan kecepatan gerak  anggota rombongan yang lain, dan urutan tempat yang dikunjungi. Maklum, Keraton berdiri di area seluas 14 hektar.

Pentas Wayang Golek (Dokpri)
Pentas Wayang Golek (Dokpri)
Selama mengikuti tur wisata, saya menemukan kejutan lain berupa aksesibilitas kursi roda yang cukup baik sepanjang rute tur wisata, tepatnya dari Pintu Gerbang Donopratopo, ruang koleksi, ruang pameran, menonton pentas wayang golek di Bangsal Srimanganti, sampai kembali ke loket.

Hanya saja, saya memilih tidak masuk ruang koleksi dan ruang pameran temporer Narawandira. Selain karena pengunjungnya cukup ramai, tidak ada akses kursi roda di kedua area itu.

Meski sebenarnya sudah punya aksesibilitas cukup baik, kursi roda di area Museum Keraton masih belum bisa berfungsi optimal. Penyebabnya, terdapat area undakan tangga dan pasir, yang tak bisa diganti seenaknya, karena memang merupakan bagian dari Cagar Budaya.

Dari Museum Keraton, kami beranjak ke Museum Kereta Keraton Yogyakarta alias Museum Wahanarata. Meski kali ini tidak memakai kursi roda, saya memilih untuk langsung menuju ke ruang pertemuan, mengingat durasi turnya singkat, dan masih disambung dengan acara audiensi bersama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, Penghageng KHP Nitya Budaya Keraton Yogyakarta, yang juga putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja Keraton Yogyakarta.

Momen ini terasa spesial, karena tidak semua orang yang berwisata ke Keraton Yogyakarta bisa bertemu langsung dengan pihak "tuan rumah".

Momen audiensi bersama GKR Bendara dengan Gana Stegmann (Dokpri)
Momen audiensi bersama GKR Bendara dengan Gana Stegmann (Dokpri)
Menariknya, dari sesi audiensi yang dimoderatori oleh Gana Stegmann (Ketua KOTEKA periode 2023) saya seperti menemukan sekilas "pandangan utuh" sekaligus "jawaban" dari aneka kejutan yang saya alami di Museum Keraton Yogyakarta.

Ternyata, diluar peran pelestarian dan edukasi warisan sejarah maupun budaya (historio-kultural), seperti yang ditampilkan pada tur wisata Keraton Yogyakarta, ada sisi adaptif yang juga diterapkan dengan baik di Keraton Yogyakarta.

Pada lingkup kecil, salah satu sisi adaptif itu terlihat, dari hasil renovasi dan revitalisasi Museum Wahanarata, yang telah diresmikan pada tanggal 18 Juli 2023 silam.

Di sisi sayapnya, museum kereta pusaka ini memiliki ruang pertemuan, lengkap dengan fasilitas pendukung mumpuni, termasuk akses Wi-Fi. Karenanya, sesi audiensi yang juga menghadirkan rekan-rekan dari komunitas KOTEKA di Zoom juga berjalan lancar.

Pada lingkup lebih besar, sisi adaptif Keraton Yogyakarta terlihat dari keterbukaan untuk belajar dari kisah sukses pelestarian dan edukasi warisan historio-kultural di luar negeri.

Berawal dari hasil pengamatan GKR Bendara semasa studi lanjut di Kota Edinburgh (Skotlandia) dimulailah upaya panjang menjadikan Sumbu Filosofi Keraton Yogyakarta sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, yang rencananya akan menjalani "ujian akhir" di kuartal akhir tahun 2023.

Kota Edinburgh sendiri telah ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995, dan menjadi salah satu kota tujuan wisata populer di Skotlandia.

Sementara itu, Sumbu Filosofi merupakan garis lurus yang terbentang dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga Panggung Krapyak.

Diluar makna filosofisnya, area Sumbu Filosofi juga merupakan desain tata kota tertua di Yogyakarta, yang mempunyai banyak peninggalan sejarah lengkap dengan potensi pariwisata yang menarik.

Penjelasan lebih spesifik mengenai Sumbu Filosofi dapat dijumpai dalam tulisan saya di Kompasiana yang berjudul "Sumbu Filosofi, Warna Unik Pariwisata Jogja".

Boleh dibilang, dengan mengadopsi cerita sukses di Edinburgh (dibaca E-din-bra), Yogyakarta sedang berupaya untuk menaikkan level pariwisatanya menjadi kelas dunia dengan orientasi berkelanjutan.

Orientasi berkelanjutan sendiri memang jadi solusi ideal, di tengah mulai munculnya stagnasi pariwisata di Jogja, terutama setelah menjamurnya tren spot wisata "Instagrammable" yang cakupan manfaatnya kurang luas apalagi berkelanjutan dalam jangka panjang.

Menariknya, orientasi berkelanjutan ini ternyata sejalan dengan apa yang saya dan rekan-rekan temui setelahnya di nDalem Benawan, yang merupakan kediaman RM. Kukuh Hertriasning alias Gusti Aning, selaku Dewan Pembina Faircle.

Gusti Aning dan istri (Dok. KJOG & KOTEKA)
Gusti Aning dan istri (Dok. KJOG & KOTEKA)
Ditemani sajian kuliner klasik khas Keraton Yogyakarta, yakni Sangga Buwana, Gecok Ganem dan Manuk Enom, kami diajak melihat ragam potensi UMKM lokal, berupa produk kerajinan dan oleh-oleh.

Salah satu produk UMKM yang cukup menarik di sini adalah Teh Hijau dari daerah Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Teh ini beraroma harum, dengan sensasi after taste seperti buah-buahan.

UMKM sendiri belakangan menjadi satu potensi ekonomi menarik di Indonesia. Selain karena punya potensi nilai ekonomi besar, ada juga potensi keberlanjutan cukup kuat, sepanjang dikelola dengan benar dan didukung dengan baik, misalnya dalam hal perizinan.

Orientasi berkelanjutan ini menjadi poin kunci, karena bisa melibatkan masyarakat  luas untuk ikut berperan aktif melestarikan warisan historio-kultural, sambil menggarap potensi ekonomi yang ada.

Dari peran aktif inilah, kesejahteraan masyarakat bisa diupayakan menjadi lebih baik. Program kreatif pendukung seperti Desa Wisata pun bisa berjalan optimal, karena pelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat mampu berjalan secara dinamis, tanpa harus kehilangan akar.

Dengan demikian, budaya akan menjadi satu warisan yang tak lekang oleh waktu, dan wisata budaya (sebagai turunannya) bisa dinikmati secara inklusif di era lintas batas ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun