Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sensor OTT, Sebuah Adaptasi Salah Kaprah

20 Agustus 2023   14:39 Diperbarui: 20 Agustus 2023   14:53 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas mungkin terdengar kasar, tapi  cukup mewakili pendapat jujur saya, soal rencana Menkominfo Sensor OTT (over the top --penyedia layanan video internet) yang belakangan mengemuka.

Meski masih berupa rencana, ide ini terbilang konyol, karena selain obyeknya terdiri atas begitu banyak platform digital, Menkominfo tampaknya belum berkaca pada pengalaman di masa lalu.

Sebelumnya, kebijakan sensor sudah diberlakukan di televisi, tapi malah menjadi bumerang, karena sensor berlebihan diterapkan pada film atau kartun asing, tapi tidak ada pada sinetron atau acara hiburan yang kadang menciptakan blunder dari adegan kurang pantas atau berlebihan.

Ketika masyarakat pelan-pelan beralih ke platform OTT (yang lebih beragam dan bisa disesuaikan dengan selera pribadi) banyak yang menyebut, televisi sudah mulai masuk senjakala.

Karenanya, makin banyak televisi yang mulai masuk ke platform OTT sebagai bentuk adaptasi. Kebetulan, pemerintah juga mencanangkan program digitalisasi televisi, sehingga ada banyak saluran televisi nasional yang kini bisa diakses di platform OTT.

Alhasil, ketika Menkominfo merencanakan sensor pada platform OTT, ini sebenarnya merupakan satu bentuk adaptasi terhadap digitalisasi televisi. Sebagai lembaga pemerintah, mereka memang perlu mengikuti juga alur kebijakan pemerintah, dalam hal ini digitalisasi televisi.

Masalahnya, rencana sensor OTT ini berpotensi melanggar hak masyarakat sebagai konsumen, karena platform OTT umumnya punya layanan berbayar, dan harganya cenderung naik dari tahun ke tahun.

Kalau platform OTT itu gratis dan memakai frekuensi publik seperti televisi terestrial, mungkin sensor masih masuk akal, karena tayangan televisi terestrial itu gratis. Semua bisa menikmati.

Tapi, ketika sensor itu diterangkan pada platform OTT berbayar (yang harganya terus naik dari tahun ke tahun) rasanya itu tidak adil. Masyarakat membeli paket tayangan platform OTT, dengan harapan dapat menikmati tayangan berkualitas tanpa sensor berlebihan, yang dalam beberapa tahun terakhir sudah gagal dihadirkan di televisi terestrial.

Ketika harapan itu ada di platform OTT, tapi terancam dirusak oleh rencana sensor Menkominfo, rasanya sangat tidak enak. Masyarakat sudah kehilangan tayangan televisi terestrial berkualitas, dan rela membayar di platform OTT, hanya untuk bersiap kena sensor lagi.

Berbayar saja akan disensor, apalagi gratisan. Kurang sensor apalagi?

Kalau melihat tujuan dasarnya, mungkin sensor itu baik, tapi sensor tidak bisa menjamin semua baik-baik saja. Ada edukasi yang harus dibudayakan, tapi itu tak pernah ada, kalau tak boleh dibilang gagal dihadirkan.

Tanpa didasari edukasi tentang hal-hal yang masuk kategori "sensor" itu, tidak akan ada kesadaran. Malah, sensor ketat yang ada hanya akan memicu tindakan negatif akibat rasa penasaran tinggi yang tidak diwadahi dalam edukasi.

Sebagai bangsa yang menyebut dirinya "kaya akan budaya" dan berbudaya, tidak seharusnya sensor jadi kebiasaan, karena semakin berbudaya, seharusnya sensor semakin longgar, karena kesadaran diri dan cara pandangnya semakin luas, sumbu kesabaran pun semakin panjang, karena budaya (seharusnya) membuat manusia lebih arif.

Kalau yang terjadi sebaliknya, seharusnya ada yang salah, itupun kalau disadari. Mungkin, inilah satu buah dari pendidikan yang lebih mementingkan "angka" kuantitatif ketimbang nilai kualitatif.

Mengerikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun