Bicara soal kiprah Chelsea di bursa transfer musim panas 2023, ada satu hal yang terlihat cukup mencolok, yakni belanja besar-besaran yang (masih) terjadi, lengkap dengan pergantian pelatih, dari Frank Lampard ke Mauricio Pochettino.
Setelah sebelumnya sudah menggelontorkan dana sebesar lebih dari 600 juta pounds sepanjang musim 2022-2023, tim kasta tertinggi Liga Inggris ini masih belum berhenti belanja banyak menyambut musim 2023-2024.
Bedanya, tidak seperti musim lalu yang mencatat minus 468 juta pounds dari transfer pemain, klub dari kota London ini masih mencatat surplus 40 juta pounds dari jual-beli pemain.
Seperti diketahui, selain memboyong sejumlah pemain seperti Christopher Nkunku, Axel Disasi dan Robert Sanchez, sejumlah pemain bintang seperti Mateo Kovacic, Edouard Mendy dan Kalidou Koulibaly juga dijual dengan harga lumayan.
Meski begitu, catatan surplus ini berpotensi kembali jadi minus, jika transfer Romeo Lavia dan Moises Caicedo seharga total 170 juta pounds jadi diresmikan. Jika mengacu pada aturan standar UEFA soal batas maksimal kerugian klub (105 juta pounds), Chelsea bisa kena sanksi tambahan.
Sebelumnya, Si Biru sudah didenda UEFA sebesar 8,6 juta pounds karena melanggar aturan Financial Fair Play UEFA selama periode 2012-2019, dan masih menghadapi penyelidikan atas masalah serupa di dalam negeri.
Masalah pelanggaran aturan finansial belakangan memang jadi sorotan, karena berpengaruh pada akuntabilitas dan transparansi klub dalam jangka pendek, plus keberlanjutan dalam jangka panjang.
Di Italia, kita menjumpai kasus Plusvalenza yang menjerat Juventus. Akibat tidak transparan dalam laporan keuangan, Juve dihukum pengurangan poin dan dilarang tampil di kompetisi antarklub Eropa selama musim 2023-2024.
Sejauh ini, The Blues memang masih leluasa belanja jor-joran di era Boehly. Mereka bahkan seperti tak tersentuh karena mampu mengakali celah aturan yang ada, lewat ikatan kontrak jangka panjang (yang legal dalam aturan ketenagakerjaan di Inggris) untuk memperkecil nilai amortisasi transfer pemain, yang dalam kasus ini merupakan "aset" bagi klub.
Sebagai contoh, Moises Caicedo yang diboyong dari Brighton dengan paket transfer senilai 115 juta pounds, diikat kontrak hingga 2031 dengan opsi perpanjangan selama setahun. Dengan demikian, nilai amortisasi tahunan si pemain tak sampai 15 juta pounds per tahun.
Sebelumnya, ada Enzo yang yang diikat kontrak sampai 2031, setelah diboyong dari Benfica seharga 107 juta pounds. Durasi kontrak serupa juga mengikat Mikhaylo Mudryk, yang diboyong dari Shakhtar Donetsk (Ukraina) seharga 88 juta pounds.
Dengan nilai amortisasi tahunan yang tak terlalu besar, tentu saja manuver belanja gila-gilaan Chelsea masih aman. Kebetulan, nilai amortisasi ini juga masih bisa diperkecil, jika paket transfer yang ada juga menyertakan bonus performa atau bonus susulan lain.
Tapi, meski masih legal di Inggris, sebenarnya strategi kontrak panjang ala Boehly tidak sejalan dengan aturan standar FIFA yang selama ini berlaku, yakni durasi maksimal 5 tahun plus opsi perpanjangan di akhir masa kontrak, atau perpanjangan kontrak saat masa kontrak belum selesai.
Dari sudut pandang ekonomi, pembatasan durasi kontrak ini logis, karena amortisasi nilai aset biasanya memang berjarak 3-5 tahun, dan biasanya dicatat secara periodik dalam jangka pendek dan menengah (1-5 tahun)
Setelah masa amortisasi lewat, aset tersebut akan punya nilai harga sisa tetap, yang biasa disebut nilai residu.
Pada kehidupan sehari-hari, nilai residu ini biasa kita temui, misalnya saat menjual barang bekas. Sebagai contoh, ponsel yang 4-5 tahun lalu bernilai beli 1-2 juta rupiah, kemungkinan tinggal punya nilai jual 200-400 ribu rupiah saat ini karena mengalami amortisasi tiap tahun, dan teknologinya sudah tertinggal dari ponsel generasi terkini.
Pada kasus kontrak pemain sepak bola di Eropa, nilai amortisasi ini bisa lebih tinggi jika harga pasar si pemain naik. Entah karena performa bagus, mendapat perpanjangan kontrak, atau kenaikan gaji.
Karena aneka variabel ketidakpastian itulah, banyak klub yang mematok harga transfer tinggi, atau menetapkan nilai klausul rilis pemain dalam kesepakatan kontrak.
Pada kasus Chelsea era Todd Boehly, strategi memanfaatkan nilai amortisasi tahunan ini sekilas memang bisa mengakali aturan Financial Fair Play. Tapi, akan jadi potensi masalah dalam jangka panjang.
Jangan lupa, tidak semua pemain akan bertahan sampai kontraknya tuntas. Kalau bisa dijual untung, itu bagus, tapi tidak kalau dijual rugi atau putus kontrak di tengah jalan.
Maka, ketika UEFA menetapkan larangan pencatatan amortisasi kontrak lebih dari lima tahun per Juli lalu, ini adalah satu langkah bagus untuk menegakkan akuntabilitas, sekaligus menjaga aspek keberlanjutan dalam olahraga sepak bola secara umum.
Jangan lupa, klub sebesar Barcelona saja bisa terlilit masalah finansial, karena gagal menjaga aspek keberlanjutan ini, ditambah salah urus manajemen.
Di sepak bola era industri, aturan memang rawan diakali, sehingga perlu diperbarui secara berkala. Tapi, berhubung industri ini dirancang dan dijalankan sebagai sesuatu yang (diharapkan dapat) berkelanjutan, praktek apapun yang sifatnya merusak keberlanjutan itu (seharusnya) akan jadi bumerang cepat atau lambat.
Selincah-lincahnya celeng menghindari kejaran pemburu dan jeratan perangkap, suatu saat akan kena juga. Persis seperti yang dilukiskan seniman (Alm.) Djoko Pekik dalam karya "Berburu Celeng"-nya yang terkenal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H