Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Buffon, Sebuah Kisah Langka

3 Agustus 2023   00:01 Diperbarui: 3 Agustus 2023   08:54 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjaga gawang asal Italia Gianluigi Buffon.(AFP/ISABELLA BONOTTO)

Dalam sepak bola, tidak banyak pemain yang mampu bermain sampai usia 45 tahun. Satu dari sedikit contoh langka itu adalah Gianluigi Buffon.

Kiper berjuluk "Superman" ini menjadi anggota terakhir tim pemenang Piala Dunia 2006, yang memutuskan pensiun dari lapangan hijau. Keputusan yang diambil Selasa (1/8, waktu Italia) ini menjadi akhir sebuah perjalanan panjang.

Perjalanan karier pemain kelahiran 1978 benar-benar penuh warna. Ada gelimang prestasi, rekor, lengkap dengan sedikit bumbu keputusan unik.

Soal prestasi, kiper yang memulai dan mengakhiri karier di Parma ini punya seabrek, baik individu maupun tim. Dalam 27 tahun kariernya, trofi Scudetto, Coppa Italia dan Piala Super Italia sudah diraih berkali-kali, lengkap bersama sejumlah penghargaan.

Mulai dari Kiper Terbaik Liga Italia, Kiper Terbaik UEFA, sampai Kiper Terbaik Piala Dunia 2006 semua sudah cukup untuk menjelaskan, mengapa Buffon banyak disebut sebagai salah satu kiper terbaik sepanjang masa.

Ketenangan dan konsistensi berpadu seimbang dengan talenta. Perpaduan ini menjadi satu kekuatan spesial bagi tim manapun yang diperkuatnya.

Gigi Buffon, kiper legendaris Juventus dan Timnas Italia (Talksport.com)
Gigi Buffon, kiper legendaris Juventus dan Timnas Italia (Talksport.com)

Di Parma, torehan trofi Coppa Italia dan Piala UEFA (kini Liga Europa) musim 1998-1999 mampu menarik minat Juventus, yang tanpa ragu menggelontorkan dana transfer 52 juta euro untuk menebusnya tahun 2001.

Datang sebagai kiper termahal dunia, Buffon mampu membuktikan kualitasnya secara konsisten. Puluhan trofi domestik dan aneka prestasi individu yang diraihnya bersama Juve bahkan membuat harga transfernya terlihat murah, karena mampu dibayar berlipat lewat prestasi di lapangan.

Periode pertamanya di Turin (2001-2018) menjadi puncak karier bermainnya. Pada masa penuh naik-turun ini posisinya di bawah mistar tak tergoyahkan sampai usianya menginjak 40 tahun.

Dirinya juga menjadi satu dari sedikit pilar tim yang memilih bertahan, saat Si Zebra harus bermain ke Serie B (musim 2006-2007) akibat Calciopoli.

Keputusan itu terbukti tepat, karena selain mampu kembali promosi, Juventus mampu membangun dominasi di Liga Italia dalam sebagian besar dekade 2010, dengan mencetak rekor Scudetto beruntun. 

Uniknya, era historis ini diawali dengan "gol hantu" Sulley Muntari yang diamankan Buffon, saat Si Nyonya Tua bersua AC Milan di Serie A musim 2011-2012.

Satu-satunya kekurangan Buffon di masa puncak performa dan sepanjang karier cemerlangnya, hanyalah ketidakberuntungan di Liga Champions.

Meski 3 kali lolos ke final (2002-2003, 2014-2015 dan 2016-2017) trofi Si Kuping Besar tak pernah diraih, karena kalah adu penalti melawan Milan, plus dua kali kalah 3-1 dari Barcelona dan Real Madrid yang sama-sama sedang dalam performa terbaik.

Setelahnya, karier kiper yang biasa disapa Gigi ini cukup lekat dengan keputusan unik. Pada musim panas 2018, jebolan akademi Parma ini memutuskan pindah ke PSG, tak lama setelah kontraknya di Juventus tuntas.

Bersama Les Parisiens, Buffon berbagi menit bermain dengan Alphonse Areola (kini di West Ham United) dan turut meraih trofi Ligue 1 musim 2018-2019.

Periode sang portiere di Paris terbilang singkat, karena hanya berlangsung setahun. Inilah pengalaman tunggalnya bermain di klub luar Italia.

Selama bermain di Prancis, Buffon sempat berbagi lapangan dengan Marcus Thuram (anak Lilian Thuram) dan Timothy Weah (anak George Weah).

Pengalaman ini menjadi unik, karena pada masa lalu Buffon pernah menghadapi George Weah, juga menjadi rekan setim Lilian Thuram di Parma dan Juventus.

Dari Prancis, kiper penggemar Superman ini lalu memutuskan pulang ke Juventus (2019-2021). Meski kali ini berbagi menit bermain dengan Wojciech Szczesny (Polandia), periode keduanya di Juve terasa unik.

Selain karena menjadi saksi tuntasnya dominasi Bianconeri di liga, ia juga mendapat kesempatan menjadi rekan setim Cristiano Ronaldo, superstar Portugal yang kerap menjebol gawangnya di Liga Champions. 

Periode keduanya berakhir, tak lama setelah meraih gelar Coppa Italia di usia 43 tahun, rekor pemain juara tertua sepanjang sejarah kompetisi.

Dari Juventus, keputusan "pulang" kembali diambil Buffon saat bergabung (kembali) dengan Parma. Meski tak selalu jadi pilihan utama, Gialloblu mampu dibawa ke semifinal Play-Off promosi Serie B 2022-2023.

Sebuah penutup yang hampir saja menjadi manis, karena pada bulan Agustus 2023, sang legenda memutuskan gantung sarung tangan.

Tak hanya di klub, di Timnas Italia Buffon juga punya masa perjalanan begitu panjang. Namanya sudah masuk Timnas sejak level U-16 pada tahun 1993, dan mulai mencuat (bersama Alessandro Nesta dan Fransesco Totti) saat menjuarai Euro U-21 tahun 1996 di bawah asuhan Cesare Maldini.

Pada tahun berikutnya, debut di Timnas senior Italia datang, dan itu menjadi awal perjalanan panjang kisahnya sebagai kiper legendaris Italia di era modern.

Selama perjalanan panjangnya bersama Azzurri, berbagai momen sudah dikecap. Mulai dari menjadi kiper cadangan di Piala Dunia 1998, absen di Euro 2000 karena cedera, kalah dramatis di Piala Dunia 2002 dan Euro 2004, sampai juara Piala Dunia 2006 dan mencapai final Euro 2012 sebagai titik puncak.

Selama itu juga, 176 caps berhasil dicatat. Sebuah rekor penampilan terbanyak di Timnas Italia. Sayang, kisah legendaris seorang Gianluigi Buffon di Timnas Italia berakhir suram, kala La Nazionale gagal lolos ke Piala Dunia 2018.

Sebuah momen yang membuat Gianluigi Donnarumma (PSG) mulai muncul sebagai penerusnya di Timnas Italia.

Meski begitu, karier panjang pengagum Thomas N'Kono (kiper legendaris Timnas Kamerun) selama hampir tiga dekade telah menjadi sebuah kisah epik, dan contoh positif buat para pemain muda. 

Sebuah talenta besar dan disiplin tinggi terbukti mampu menjadikan karier seorang pemain bintang begitu awet, bahkan menjadi salah satu pemain terbaik di posisinya, dengan mencatat lebih dari 1000 penampilan di laga resmi.

Tapi, berakhirnya kiprah seorang Gianluigi Buffon sekaligus menandai sebuah siklus evolusi di posisi kiper. Tak ada lagi cukup banyak ruang untuk kiper tipe klasik dengan refleks tinggi, karena sepak bola kekinian banyak menuntut kiper untuk ikut aktif bermain, bahkan mencetak gol.

Karenanya, kita mungkin akan semakin jarang melihat seorang kiper seperti Buffon, yang bertipikal klasik dan bisa bermain sampai usia 40-an tahun. Inilah satu konsekuensi nyata, dari sepak bola modern yang begitu intens, sekaligus membuktikan, selalu ada "tumbal" dari sebuah siklus evolusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun