Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Antara Manusia, AI, dan Doraemon

29 Juli 2023   23:56 Diperbarui: 30 Juli 2023   00:27 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Manga Doraemon Vol. 20 via Twitter.com/DoraemonHariIni)

Seiring berjalannya waktu, ditambah makin kompleksnya jenis kebutuhan hidup manusia, kemampuan berpikir dan sisi inovatif manusia terus berkembang sebagai bentuk adaptasi.  

Hasilnya, teknologi terus berkembang. Dari  yang awalnya berupa teknologi koneksi intranet pelan-pelan naik kelas menjadi internet,lengkap dengan media sosial dan search engine sebagai turunannya, hingga menghadirkan teknologi kecerdasan buatan alias AI.

Berkat perkembangan ini, manfaat yang dihadirkan pun semakin banyak. Dari yang awalnya hanya berinteraksi, baca berita, dan mengumpulkan data, kini merambah berbagai aspek; dari perbankan, transportasi sampai kuliner, dengan dompet digital dan aplikasi ojek online sebagai contoh familiar di masyarakat.

Boleh dibilang, di era digital ini, ada begitu banyak hal yang sangat bergantung pada teknologi, karena mampu bekerja secara cepat. Hanya bermodal input sedikit informasi, entah valid atau asal-asalan, semua bisa diproses dalam sekejap.

Alhasil, muncul begitu banyak karya-karya hasil kerja AI. Mulai dari gambar, narator video, sampai esai sepanjang ribuan kata.

Karena itulah, jangan kaget kalau di banyak tingkatan, semakin banyak pelajar atau mahasiswa yang menggunakan bantuan AI untuk mengerjakan tugas.

Kalau ada yang praktis dan tidak ketahuan, pasti akan dipakai, yang penting hasilnya bagus. Selama ada celah yang masih terbuka, semua bisa diatur.

Masalahnya, pada tingkat yang lebih tinggi,  yakni dunia kerja, Singh et.al (2022) menemukan, seiring dengan makin mahalnya biaya rekrutmen tenaga kerja,
AI dan tenaga mesin belakangan mulai diberdayakan sebagai pengganti tenaga manusia dalam mengerjakan tugas di perusahaan. Sejak tenaga mesin dilengkapi AI, tingkat akurasi kalkulasi dan analisis datanya terus membaik dari waktu ke waktu. AI juga mempunyai kemampuan untuk menerapkan otomatisasi proses ke banyak bidang industri sesuai kebutuhan,
lengkap dengan kecerdasan analitik dan pemikiran jernih.

Dengan kemampuan selengkap itu, ditambah tingkat efektivitas dan efisiensi kerja yang tinggi, perusahaan jelas tak perlu pusing memikirkan urusan cuti (dengan berbagai jenisnya), pensiun, pesangon, kenaikan harga sembako, biaya BPJS, demo buruh atau sejenisnya.

Selama belum ada aturan UU Ketenagakerjaan dan istilah berperikerobotan untuk tenaga kerja mesin atau AI, tak ada hari libur pun tak masalah. Tak akan ada yang akan protes karena dipaksa kerja ala romusha sekalipun.

Semogok-mogoknya mereka, itu lebih banyak disebabkan karena waktunya servis rutin di pabrik, aki mesin soak, baterai habis atau sudah waktunya update teknologi. Aplikasi ponsel saja rutin diupdate, apalagi teknologi tenaga kerja mesin dan AI.

Kalau di Indonesia, masalah penyebab tenaga mesin mogok bisa ditambah satu lagi, yakni mati listrik. Kalau tenaga kerjanya bergantung pada colokan listrik atau baterai listrik, harus ada cadangan genset, supaya tidak gampang tekor saat mati listrik.

Maklum, mati listrik di Indonesia kadang seperti makhluk astral di film-film horor: datang tak diundang, pergi tak pamitan, tanpa pernah kita tahu pasti, kapan ia akan datang, dan berapa lama ia akan mampir.

Benar-benar ajaib, seperti tarifnya yang selalu naik, walau kualitas masih konsisten seadanya. Jangan-jangan, listrik di Indonesia memang penggemar berat ratu horor, yang bisa makan sate sampai ratusan tusuk.

Dengan kecenderungan dunia bisnis yang makin pragmatis cum kapitalis, kekhawatiran soal makin berkurangnya lapangan kerja buat manusia karena kemajuan teknologi jelas bukan pepesan kosong.

Sebagai contoh, sebelum banyaknya penggunaan teknologi robotik di industri manufaktur, sudah ada aplikasi m-banking dan Internet Banking, yang telah membuat jumlah teller di bank tak sebanyak dulu.

Dengan kata lain, efisiensi sudah ada dan membudaya, sebagai satu bentuk adaptasi natural terhadap kemajuan teknologi. Otomatis, manusia akan dipaksa untuk ikut beradaptasi, meski tingkat kemajuan teknologi dan kualitas SDM di setiap wilayah berbeda-beda.

Di satu sisi, ini memang menakutkan, karena situasi "manusia digantikan mesin" seperti di film Terminator telah menjadi satu realita.

Tapi, bukan berarti tak ada harapan di sini, karena Pandit dan Naseem (2022) menemukan, meski AI berpotensi menghilangkan beberapa jenis pekerjaan konvensional, pada saat bersamaan, AI juga berpotensi menghadirkan lebih banyak jenis pekerjaan baru.

Dalam penelitiannya, Pandit dan Naseem (2022) juga menemukan, peningkatan produktivitas karena AI berpotensi mendorong perusahaan untuk mengarahkan tenaga kerja (manusia) nya pada lebih fokus pada jenis aktivitas yang kompleks, tapi dapat membantu pengembangan karier di masa depan.

Dengan kata lain, tidak seperti manusia yang punya jenjang karier, AI hanya akan diarahkan secara spesifik, untuk bertugas dengan spesialisasi tertentu, selama perusahaan tersebut masih belum menaruh profit di atas segalanya, termasuk kemanusiaan.

Satu gambaran paling familiar soal arah spesialisasi peran AI, bisa kita lihat pada tokoh Doraemon di manga Doraemon karya Fujiko. F. Fujio.

Meski punya seabrek alat ajaib, robot luwak kucing biru itu bisa tetap fokus pada tugas utamanya sebagai robot pengasuh sekaligus sahabat buat Nobita.

Jika tidak sedang sibuk, Doraemon tetap bersikap seperti musang kucing, karakter hewan yang diprogramkan padanya. Ada saatnya bermain dengan Nobita dkk, ada saatnya main dengan teman kucing oyen tongkrongannya, dan ada saatnya malas-malasan di rumah.

Dengan kelebihannya, Doraemon menjadi satu paket lengkap pengasuh yang futuristik, karena datang dari masa depan, tapi kehadirannya tidak menghilangkan peran Nobisuke Nobi dan Tamako sebagai orang tua Nobita.

Mereka tetap mampu menjadi orang tua dengan menjalankan tugas masing-masing sebagai emak-emak dan bapack-bapack, lengkap dengan semua keajaibannya, tanpa lupa menikmati hidup dan bahagia.

Mungkin, seperti itulah tugas utama AI, sepanjang sisi tamak manusia belum merajalela; membantu manusia supaya tak lupa untuk tetap jadi manusia.

Maka, dengan semakin berkembangnya teknologi, pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu mulai mempersiapkan regulasi terkait, misalnya dengan mengatur persentase minimum tenaga kerja manusia di satu perusahaan, karena tidak semua orang bisa dan punya previlese jadi pengusaha.

Jangan sampai pengangguran melonjak akibat kemajuan teknologi, karena kemajuan teknologi seharusnya ada untuk membantu, bukan menyusahkan hidup manusia, khususnya para pekerja.

Bisa?

Referensi jurnal:

  - Singh, A. K., Sharma, P. M., Bhatt, M., Choudhary, A., Sharma, S., & Sadhukhan, S. (2022, November). Comparative Analysis on Artificial Intelligence Technologies and its Application in FinTech. In 2022 International Conference on Augmented Intelligence and Sustainable Systems (ICAISS) (pp. 570-574). IEEE.


  - Pandit, S. S., & Naseem, S. B. (2022, December). A composite Literature review on Impact of Artificial Intelligence on Jobs Profiling. In 2022 5th International Conference on Advances in Science and Technology (ICAST) (pp. 1-6). IEEE.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun