Semogok-mogoknya mereka, itu lebih banyak disebabkan karena waktunya servis rutin di pabrik, aki mesin soak, baterai habis atau sudah waktunya update teknologi. Aplikasi ponsel saja rutin diupdate, apalagi teknologi tenaga kerja mesin dan AI.
Kalau di Indonesia, masalah penyebab tenaga mesin mogok bisa ditambah satu lagi, yakni mati listrik. Kalau tenaga kerjanya bergantung pada colokan listrik atau baterai listrik, harus ada cadangan genset, supaya tidak gampang tekor saat mati listrik.
Maklum, mati listrik di Indonesia kadang seperti makhluk astral di film-film horor: datang tak diundang, pergi tak pamitan, tanpa pernah kita tahu pasti, kapan ia akan datang, dan berapa lama ia akan mampir.
Benar-benar ajaib, seperti tarifnya yang selalu naik, walau kualitas masih konsisten seadanya. Jangan-jangan, listrik di Indonesia memang penggemar berat ratu horor, yang bisa makan sate sampai ratusan tusuk.
Dengan kecenderungan dunia bisnis yang makin pragmatis cum kapitalis, kekhawatiran soal makin berkurangnya lapangan kerja buat manusia karena kemajuan teknologi jelas bukan pepesan kosong.
Sebagai contoh, sebelum banyaknya penggunaan teknologi robotik di industri manufaktur, sudah ada aplikasi m-banking dan Internet Banking, yang telah membuat jumlah teller di bank tak sebanyak dulu.
Dengan kata lain, efisiensi sudah ada dan membudaya, sebagai satu bentuk adaptasi natural terhadap kemajuan teknologi. Otomatis, manusia akan dipaksa untuk ikut beradaptasi, meski tingkat kemajuan teknologi dan kualitas SDM di setiap wilayah berbeda-beda.
Di satu sisi, ini memang menakutkan, karena situasi "manusia digantikan mesin" seperti di film Terminator telah menjadi satu realita.
Tapi, bukan berarti tak ada harapan di sini, karena Pandit dan Naseem (2022) menemukan, meski AI berpotensi menghilangkan beberapa jenis pekerjaan konvensional, pada saat bersamaan, AI juga berpotensi menghadirkan lebih banyak jenis pekerjaan baru.
Dalam penelitiannya, Pandit dan Naseem (2022) juga menemukan, peningkatan produktivitas karena AI berpotensi mendorong perusahaan untuk mengarahkan tenaga kerja (manusia) nya pada lebih fokus pada jenis aktivitas yang kompleks, tapi dapat membantu pengembangan karier di masa depan.
Dengan kata lain, tidak seperti manusia yang punya jenjang karier, AI hanya akan diarahkan secara spesifik, untuk bertugas dengan spesialisasi tertentu, selama perusahaan tersebut masih belum menaruh profit di atas segalanya, termasuk kemanusiaan.