Sebagai sebuah olahraga yang dinamis, sepak bola kerap mengalami perubahan aturan. Belakangan, seiring makin intensnya penggunaan teknologi, perubahan aturan yang ada mampu menjangkau detail kecil pada aturan spesifik.
Terkini, FIFA berencana menguji coba versi baru aturan offside di kompetisi Liga Swedia, Belanda dan Italia. Aturan yang diusulkan oleh Arsene Wenger (eks pelatih Arsenal, kini menjabat sebagai Kepala Pengembangan Global FIFA) ini disebut sebagai Wenger Law.
Wenger Law secara umum mendefinisikan ulang offside menjadi lebih sederhana. Dimana, seorang pemain dinyatakan offside, jika seluruh tubuhnya secara utuh berada di belakang pemain terakhir lawan.
Sebelumnya, offside, khususnya setelah VAR, dan belakangan SAOT (Teknologi Offside Semiotomatis) mulai digunakan telah menghadirkan satu detail tinggi.
Dimana, seorang pemain akan dinyatakan offside, jika ujung jari, ujung sepatu, atau bagian kecil lainnya berada di belakang pemain terakhir lawan.
Di satu sisi, ini memang sangat membantu wasit dan hakim garis meminimalkan kesalahan, sekaligus menambah kualitas permainan. Masalahnya, pengambilan keputusan terkait offside kerap makan waktu lama.
Alhasil, pertandingan bisa ter-delay cukup lama, dan injury time pun bisa cukup lama. Maka, ketika rencana aturan Wenger Law dicetuskan, ada harapan masalah "delay" ini bisa dikurangi.
Tapi, penerapan Wenger Law sendiri tidak bebas potensi masalah, karena bisa menjadi antitesis aturan offside versi lama. Seorang pemain bisa tetap dinyatakan "onside" jika ujung jari atau ujung sepatunya masih sejajar dengan pemain lawan.
Dari perspektif tim yang menyerang, ini adalah satu kabar gembira, karena kesempatan mencetak gol jadi lebih terbuka. Gol yang tercipta di satu pertandingan pun akan lebih banyak.
Andai ini sudah diterapkan sejak era 1990-an atau 2000-an, penyerang bertipe penakluk jebakan "offside" seperti Filippo Izaghi atau Karim Benzema pasti sudah mencetak lebih banyak gol dari yang sudah tercatat. Begitu juga dengan para penyerang jempolan seperti Thierry Henry, Samuel Eto'o dan Ronaldo.
Tapi, Wenger Law bisa menjadi mimpi buruk bagi tim yang bertahan, karena strategi jebakan offside bisa menjadi titik rawan. Tak ada lagi tekel keras, menarik kaos, atau strategi bertahan "darurat" lainnya, karena itu bisa membatalkan jebakan offside.
Tentu ini akan jadi PR besar yang bisa merevolusi sepak bola menjadi lebih taktis, tanpa kehilangan sisi dinamisnya. Andai Wenger Law benar-benar diterapkan secara utuh, ini akan jadi warna baru di sepak bola modern.
Indonesia yang liganya baru akan menggunakan VAR pun bisa sekalian menerapkan aturan offside versi baru. Benar-benar sebuah kebetulan.
Menariknya, Wenger Law seperti menjadi satu kilas balik, yang mengingatkan esensi sepak bola sebagai sebuah olahraga tim. Sehebat apapun seorang pemain, ia justru akan jadi titik lemah, jika tak bisa melebur dan ikut bermain sebagai sebuah tim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H