Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Saudi Pro League (Bukan) CSL Jilid II

4 Juli 2023   23:42 Diperbarui: 5 Juli 2023   07:32 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karim Benzema (tengah) resmi diperkenalkan sebagai pemain baru klub Liga Arab Saudi, Al Ittihad, pada Selasa (6/6/2023). (AFP/JORGE FERRARI via Kompas.com)

Judul di atas adalah satu pendapat saya, soal geliat Liga Saudi belakangan ini. Dalam waktu kurang dari setahun terakhir, mereka cukup banyak disorot, karena mendatangkan banyak pemain dan pelatih dari liga-liga top Eropa.

Dimulai dari Cristiano Ronaldo (Al Nassr) di musim dingin dan Karim Benzema (Al Ittihad) di musim panas, eksodus bintang-bintang liga top Eropa ke Arab Saudi bagai berlangsung tanpa putus.

Cristiano Ronaldo dan Karim Benzema, dua bintang global di Saudi Pro League (Goal.com)
Cristiano Ronaldo dan Karim Benzema, dua bintang global di Saudi Pro League (Goal.com)

Baca juga: Restorasi ala PSG

Beberapa pelatih kelas Eropa juga datang, yakni Jorge Jesus (Portugal) di Al Hilal, Czeslaw Michniewicz (Pelatih Timnas Polandia di Piala Dunia 2022) di Al Abha, dan Steven Gerrard (Inggris) Al Ettifaq.

Sebelumnya sudah ada Rudi Garcia (Prancis) yang digantikan Luis Castro (Portugal) di Al Nassr dan Nuno Espirito Santo (Portugal) yang membawa Al Ittihad juara liga.

Sekilas, fenomena ini mirip dengan yang pernah terjadi di Chinese Super League (CSL) di dekade lalu, ketika pemain-pemain sekelas Didier Drogba (Pantai Gading), Carlos Tevez (Argentina) dan Oscar (Brasil) berbondong-bondong pindah ke Timur Jauh, bersama pelatih juara Piala Dunia sekaliber Marcello Lippi (Italia) dan Luiz Felipe Scolari (Brasil).

Oscar dan Carlos Tevez (Mirror.co.uk)
Oscar dan Carlos Tevez (Mirror.co.uk)
Kebetulan, strategi awalnya juga mirip, yakni menawarkan paket gaji mewah, dengan angka jauh lebih besar dari liga-liga top Eropa. Ada juga rencana ambisius dari pemerintah Tiongkok, untuk mengembangkan sepak bola, menjadi tuan rumah Piala Dunia, dan juara dunia dalam jangka panjang.

Sayangnya, penerapan aturan keuangan yang cukup ekstrem pada tahun 2018 dan pandemi Covid-19 membuat proyek ambisius ini berakhir jadi proyek gagal, karena tak ada lagi paket gaji mewah yang jadi gacoan penarik minat.

Situasi makin runyam, ketika sejumlah perusahaan yang menyokong klub malah terjerat krisis keuangan akibat pandemi. Ditambah lagi, CFA (PSSI-nya Tiongkok) ternyata masih belum bebas dari masalah korupsi.

Hasilnya, Jiangsu Suning dibubarkan (tak lama setelah juara liga tahun 2020) dan Guangzhou Evergrande (kini Guangzhou FC) yang pernah juara Liga Champions Asia terdegradasi tahun 2022 akibat krisis keuangan parah.

Sejak saat itu, Liga Super Tiongkok berangsur kembali ke mode awal. Jauh dari ingar bingar dan kata glamor.

Apakah Liga Saudi akan bernasib sama?

Untuk jangka pendek, jawabannya tidak.

Penyebabnya, Liga Saudi disokong langsung oleh pemerintah (antara lain melalui PIF, BUMN bidang investasi milik pemerintah Arab Saudi) dan swasta. Otomatis, kesempatan kerja sama dengan sponsor (termasuk apparel olahraga klub) kelas dunia pun bisa terwujud.

Sebagai contoh, per Januari 2023 Al Hilal disponsori oleh apparel Puma hingga 2027. Sementara itu, Al Nassr disponsori apparel Nike selama setahun per Juli 2023, antara lain berkat keberadaan Cristiano Ronaldo sebagai ikon global Nike.

Kolaborasi Al Nassr dan Nike (AS.com)
Kolaborasi Al Nassr dan Nike (AS.com)
Kemajuan ini rupanya jadi satu modal positif di mata internasional, karena menghadirkan kesan baik.

Di tingkat Asia, Arab Saudi sudah terpilih sebagai tuan rumah Piala Asia 2027, dan akan mencoba maju menjadi kandidat tuan rumah Piala Dunia 2030, bersama Mesir dan Yunani.

Model ini jauh berbeda dengan CSL, yang dari segi pendanaan umumnya disokong swasta, dengan pemerintah lebih banyak berperan sebagai perencana.

Dengan demikian, ada aspek keberlanjutan yang coba dibangun di liga Arab Saudi, dengan upaya menarik sponsor sebanyak mungkin. 

Di era sepak bola industri, ini jadi satu fenomena umum, dan potensi besar industri sepak bola tampaknya dilihat betul oleh pemerintah Arab Saudi, yang sebelumnya sudah membeli klub Newcastle United melalui PIF.

(Saudigazette.com)
(Saudigazette.com)
GPoin inilah yang membuat paket gaji para pemain bintang Saudi Pro League terlihat mewah, karena sudah termasuk kontrak kerjasama dengan sponsor. Klub pun bisa ikut dapat pemasukan ekstra dari sponsor.

Meski terlihat ambisius, proyek Liga Saudi lebih tertata ketimbang CSL, karena berkaitan juga dengan program diversifikasi ekonomi pemerintah Saudi dalam program "Visi 2030" mereka.

Jadi, ini bukan sebatas gagah-gagahan dari sisi olahraga, karena memang ada uang yang ingin diputar di sana. Potensi ini antara lain ada dalam daya beli masyarakat setempat yang cukup besar, dan ingin coba dioptimalkan, sambil menarik mitra potensial dari luar.

Kebetulan, pemerintah Arab Saudi juga sedang berusaha mengganti citra ultrakonservatif menjadi liberal, antara lain dengan menghapus aturan-aturan lama yang cukup membatasi ruang gerak kaum perempuan.

Ini jelas berbeda dengan Tiongkok yang masih bermain "dua kaki" lewat pendekatan "sosialis secara ideologi, tapi cenderung liberal dalam hal cuan", karena meraup cuan sebanyak mungkin adalah koentji.

Dalam konteks sepak bola, pendekatan ini terbukti gagal diterapkan di CSL, karena aturan yang ditetapkan justru tak sinkron dengan ambisi awal. Benar-benar seperti menggali kubur sendiri.

Satu perbedaan lain yang cukup mendasar dari CSL dan Saudi Pro League adalah modal dasar dari segi level prestasi sepak bola nasional masing-masing. Meski terbilang kuat di sepak bola Asia, prestasi Arab Saudi dan Tiongkok sebenarnya cukup timpang.

Di tingkat benua, Tiongkok memang pernah dua kali masuk final Piala Asia (1984 dan 2004) tapi Arab Saudi sudah enam kali menjejak partai puncak Piala Asia dan memenangkan 3 diantaranya (1984, 1988 dan 1996).

Di tingkat dunia, Tiongkok memang pernah tampil di Piala Dunia 2002, tapi Arab Saudi sudah 6 kali tampil di Piala Dunia, dengan satu diantaranya lolos ke babak perdelapan final (1994).

Jadi, CSL dan Saudi Pro League pada dasarnya "serupa tapi tak sama", karena model dasar dan modal awal sepak bola nasional masing-masing sangat berbeda.

Ditambah lagi, Liga Saudi tak hanya menampung bintang veteran yang hampir pensiun, tapi juga bintang yang masih di usia puncak performa, seperti Ruben Neves (26), Roberto Firmino (31) dan Marcelo Brozovic (30).

Dengan kuota pemain asing yang masih berjumlah 8 orang per tim, ditambah paket gaji mewah, rasanya wajar kalau kompetisi di negara Timur Tengah ini terlihat menarik, dan bisa jadi opsi menarik untuk menjual pemain bagi sebagian klub Eropa.

Tentunya, ini adalah satu strategi awal untuk menarik sponsor dan membangun familiaritas. Situasinya sama seperti ketika David Beckham datang ke MLS tahun 2007, yang belakangan diperbarui dengan transfer Lionel Messi ke Inter Miami tahun 2023.

David Beckham dan Lionel Messi (Marca.com)
David Beckham dan Lionel Messi (Marca.com)
Tapi, jika proyek Saudi Pro League memang bertujuan meningkatkan kualitas sepak bola nasional di Arab Saudi (selain karena faktor diversifikasi ekonomi) cepat atau lambat pasti akan ada penyesuaian jumlah dan standar kualitas pemain asing dalam satu tim.

Sepanjang semua berjalan lancar, gebrakan awal yang dihadirkan Saudi Pro League bisa menjadikan mereka MLS versi Asia, karena mereka tidak asal menggoda dengan gaji mewah, tapi punya standar tinggi soal pemain asing dan kompetisi.

Dengan demikian, stagnasi yang sudah cukup lama hadir di sepak bola Asia bisa dihilangkan perlahan. Negara-negara lain di Asia pun akan ikut terpacu untuk lebih baik, sehingga wakil Asia bisa berbicara lebih banyak di tingkat dunia.

Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun