Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Nuansa Toksik PSG-Mbappe

14 Juni 2023   13:21 Diperbarui: 14 Juni 2023   13:23 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sepak bola era kekinian, kita melihat beberapa contoh klub kaya nan ambisius, dengan materi pemain spesial. Meski begitu, tetap ada saja sisi hitam putih yang muncul, karena tidak semua tim tersebut otomatis akan meraih prestasi gemilang.

Memang, ada Manchester City yang baru saja meraih Treble Winner bersejarah dan  gelar Liga Champions pertama sepanjang sejarah klub, dengan profil tim tak main-main: mewah, bertabur bintang, dan ditangani pelatih jempolan

Tapi, dibalik sinar terang City, ada satu contoh klub kaya lain yang bernuansa suram. Tim itu adalah PSG, penguasa Ligue 1 Prancis sedekade terakhir.

Sebenarnya, klub ibukota Prancis itu punya profil mirip dengan City: didukung dana melimpah dari pemilik asal Timur Tengah, punya pemain bintang kelas dunia,  dan mampu mendominasi liga domestik.

Tapi, berbeda dengan Manchester City, Les Parisiens cenderung lekat dengan nuansa toksik yang banyak mengganggu tim. Mulai dari perselisihan di ruang ganti, ultras yang sering menyoraki pemain tim sendiri, sampai mencuatnya masalah ego pemain bintang.

Semua masalah ini seperti jadi nama tengah PSG, dan membuat mereka kesulitan bersaing di Eropa. Meski punya pemain termahal dunia dalam diri Neymar dan pemenang Piala Dunia sekaliber Lionel Messi dan Kylian Mbappe, hasilnya sejauh ini masih sebatas "gagal maning gagal maning".

Sejak dimulainya era Nasser Al Khelaifi di Parc Des Princes, tim ini seperti tak punya kekuatan cukup kuat untuk mengontrol suasana di ruang ganti. Pada titik tertentu, mereka bahkan tak bisa berbuat banyak saat pemain bintang berulah atau punya permintaan tak biasa, seperti yang terjadi pada Kylian Mbappe.

Jelang dibukanya bursa transfer musim panas 2023, kapten Timnas Prancis itu secara tiba-tiba menyatakan enggan mengaktifkan opsi perpanjangan kontrak selama setahun di klub. Otomatis, klub akan dipaksa menjualnya, atau si pemain akan pergi secara gratis tahun depan.

Sebelumnya, situasi ini sudah pernah terjadi tahun lalu, dengan penyerang berdarah Aljazair-Kamerun ini juga sempat berencana ingin hengkang dan enggan memperpanjang kontrak di PSG. Tarik ulur sempat terjadi, bahkan sampai membuat Emmanuel Macron (Presiden Prancis) turun tangan membujuknya bertahan.

Hasilnya, top skor Piala Dunia 2022 itu lalu berubah pikiran. Untuk sementara, tawaran gaji tinggi dan peran istimewa di klub mampu membuatnya bertahan.

Tapi, ketika situasi serupa terulang di musim panas 2023, rasanya ini mulai toksik. Memang, Mbappe punya kualitas individu kelas satu dan rajin mencetak banyak gol tiap musim. Usianya juga masih muda, belum mencapai usia puncak performa.

Masalahnya, sehebat apapun eks pemain AS Monaco ini, dia tetap seorang pemain sepak bola di sebuah klub. Secara etika profesional, klub yang seharusnya  mengatur pemain, bukan sebaliknya, karena klub memang punya otoritas untuk itu.

Jadi, ketika yang terjadi justru sebaliknya, bahkan sampai terulang, kita bisa lihat seberapa toksik situasi yang ada, dan seberapa buruk kualitas kontrol internal selama ini.

Untuk kasus Mbappe tahun ini, PSG memang berencana menjual sang bomber, supaya tak pergi secara gratis. Tapi, harga minimalnya cukup besar, 180 juta euro, setara harga belinya dulu.

Harga ini sebenarnya cukup masuk akal, karena nilai manfaat teknis dan komersial Si Kura-kura Ninja jauh lebih besar.

Real Madrid muncul sebagai tujuan potensial, bahkan disebut sudah lama mengincar tanda tangan sang penyerang gesit. Selain klub raksasa Spanyol itu, ada juga Manchester United dan Chelsea yang ikut pasang kuda-kuda.

Meski begitu, situasi toksik tidak langsung mereda, karena setelah menyatakan enggan memperpanjang kontrak, Mbappe malah menyatakan ingin menghabiskan kontrak di PSG.

Tentu saja, ini membuat situasi jadi membingungkan. Diperpanjang enggan,  dilepas pun tak mau. Kalau situasinya kembali seperti tahun lalu, bisa-bisa ini akan jadi ritual tahunan di klub Kota Mode.

Ujung-ujungnya, perpanjangan kontrak jangka pendek, dengan kenaikan gaji tinggi tiap tahun plus wewenang istimewa di klub. Sebuah modus "pemerasan" yang bisa merepotkan kalau terus dituruti.

Ibarat sebuah hubungan, ini adalah satu hubungan toksik dengan tanda "red flag". Sebuah tanda yang sudah cukup membuat seekor banteng matador mengeluarkan jurus "banteng ketaton" karena melihat kain warna merah menyala.

Bukan berarti PSG tak punya fulus, ini bisa menjadi masalah dalam jangka panjang, karena berkaitan dengan aturan Financial Fair Play UEFA yang ketat. Semakin sering dilanggar, semakin berat denda dan hukumannya.

Makanya, jika klub milik taipan Timur Tengah berani menjual Mbappe, ini bisa jadi satu langkah koreksi signifikan. Selain bisa memberi pemasukan cukup besar, ada momentum ideal untuk membangun suasana kondusif di tim.

Diantara klub peminat, Real Madrid sering disebut berpeluang paling besar, tapi mereka bukan lagi tim era Galactico yang bisa jor-joran belanja. Dalam beberapa tahun terakhir, Si Putih cenderung selektif belanja pemain.

Soal transfer Mbappe, Los Merengues memang berada dalam situasi yang pas. Kebetulan, pos penyerang tengah sedang lowong usai ditinggal pergi Karim Benzema ke Al Ittihad (Arab Saudi).

Tapi, peluang itu sebetulnya tidak terlalu besar, karena mereka sudah menggelontorkan dana lebih dari 100 juta euro saat memboyong Jude Bellingham dari Borussia Dortmund. Untuk pos penyerang, nama-nama yang masuk radar juga punya banderol lebih murah, seperti Sadio Mane, Harry Kane dan Roberto Firmino.

Jadi, kalaupun bisa bergabung ke Santiago Bernabeu, waktu idealnya adalah musim depan. Kecuali, manajemen El Real berani membongkar tabungan di musim panas ini.

Dengan silang sengkarut di sekelilingnya, sajian sinetron Kylian Mbappe dan PSG menjadi satu potret muram sepak bola era industri, khususnya pada tim yang sejak awal tak berani tegas pada pemain bintang.

Pada satu titik, uang memang bisa jadi daya tarik buat pemain bintang, tapi jika  malah jadi titik eksploitasi, uang itu hanya akan berakhir sebagai senjata makan tuan.

Inilah satu titik yang bisa menentukan arah masa depan PSG di era kepemilikan Qatar. Kalau berani tegas, progres positif di Eropa akan datang cepat atau lambat, kalau tidak, mereka akan stagnan dan sulit berkembang lebih jauh.

Juara di dalam negeri mungkin masih dalam genggaman, tapi berjaya di Eropa masih jauh dalam jangkauan, karena mereka tak kunjung padu sebagai sebuah tim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun