"Saya pamit."
"Saya kembali."
Mungkin kita pernah mendengar kata-kata itu di banyak kesempatan, entah dalam interaksi langsung atau di media sosial. Keduanya memang bagian dari sebuah siklus yang biasa terjadi.
Ada kalanya yang berpamitan bisa bertemu lagi di lain waktu, dan ada juga momen pamitan (yang ternyata) untuk terakhir kali.
Sebagai orang yang cukup sering dipamiti secara personal dalam dua kasus ini, saya biasa memperlakukan momen ini secara serius. Apalagi, kalau pamitan itu (ternyata) adalah "kode" yang bersangkutan sebelum "pulang" alias perpisahan untuk selamanya, terutama dari orang terdekat.
Kalau ada permintaan yang bisa saya penuhi, pasti akan saya turuti, supaya perpisahan itu membawa rasa lega. Ini adalah sebuah momen emosional, yang harus disalurkan sampai tuntas.
Walau harus jadi brankas penyimpanan pesan atau keranjang sampah sekalipun, itu bukan masalah. Toh pada saatnya nanti akan ada giliran kita untuk pamit secara personal.
Pada ranah personal, "pamit" bisa menjadi satu momen khusus yang cukup serius, karena bisa menjadi satu ingatan seumur hidup. Tak semua orang bisa dipamiti, apalagi untuk yang terakhir kalinya.
Maka, ketika momen personal seperti ini "diumumkan" ke ruang publik, tentu akan mengundang beragam respon, karena tidak semua orang akan peduli. Entah karena memang tidak kenal, beda kantor, dan lain sebagainya.
Di lingkup komunitas, misalnya di Kompasiana, "pamit" biasa menjadi sebuah momen ketika ada satu keputusan penting yang diambil. Entah karena berhenti total, rehat atau ingin beralih fokus ke hal lain.
Tapi, di lingkup komunitas, tidak semua momen pamit perlu diucapkan, apalagi sampai berkali-kali. Apalagi, dalam komunitas berbasis hobi seperti Kompasiana.