Berakhirnya musim 2022-2023 menghadirkan sebuah perubahan mengejutkan di internal tim AC Milan. Secara tiba-tiba, Red Bird Capital, selaku pemilik klub mencopot Paolo Maldini dan Frederic Massara, Senin (5/6) lalu.
Keputusan perusahaan investasi asal Amerika Serikat itu terbilang mengejutkan, karena duet direktur teknik ini menampilkan kinerja cukup istimewa. Meski tak didukung dana melimpah, pemain berkualitas seperti Mike Maignan dan Rafael Leao tetap mampu didatangkan.
Hasilnya, Rossoneri bisa kembali tampil di Liga Champions (bahkan melangkah jauh) dan meraih Scudetto di musim 2021-2022. Sebuah lompatan besar untuk klub yang sempat terdampar di papan tengah dan absen cukup lama di Eropa.
Tapi, ketika era singkat duet jenius ini harus berakhir secara mendadak, tentu ada satu perubahan yang ingin coba dilakukan. Kebetulan, perbedaan visi misi dengan pemilik disebut sebagai faktor utama.
Satu hal yang bisa dipahami adalah pihak pemilik klub ingin klub tetap berprestasi meski anggaran belanja terbatas, sementara Maldini dan Massara mengharapkan dukungan dana lebih besar, demi mendaratkan target utama.
Perbedaan ini sudah ada sejak musim lalu, sebelum akhirnya meledak ke permukaan. Tapi, kalau dilihat lagi, situasinya memang dilematis.
Di satu sisi, Milan menang sedang berusaha menjaga kondisi keuangan setelah melewati masa krisis, tapi dengan reputasi sebagai salah satu klub tersukses di Eropa, tuntutan untuk berprestasi tentu ada.
Otomatis, tim perlu punya pemain bintang kelas satu, yang harganya sudah pasti tidak murah. Masalah inilah yang akhirnya tak mencapai titik temu, karena kubu Red Bird Capital mengharapkan ada "perputaran uang" yang menguntungkan dari aktivitas transfer.
Dalam banyak kasus, strategi "memutar uang" lewat transfer belakangan memang jadi tren di klub Eropa. Tujuannya simpel, menjaga kondisi keuangan klub tetap sehat, dan tetap kompetitif.
Pada era kekinian, strategi ini cukup sukses diterapkan di klub-klub seperti Brentford dan Brighton, yang sukses menjual pemain dengan keuntungan cukup besar.
Sebelumnya, ada Liverpool yang sukses meraih aneka trofi, dengan menerapkan struktur gaji ketat dan rencana belanja yang cukup terukur.
Di Italia, sudah ada Lazio dan Inter yang mampu bersaing di papan atas, meski bujetnya pas-pasan. Inter bahkan mampu menapak final Liga Champions musim 2022-2023, setelah mengungguli Milan di semifinal.
Dengan kata lain, ada tuntutan untuk berprestasi dan menghasilkan profit secara bersamaan, yang ternyata tak bisa dipenuhi duet Maldini-Massara.
Maka, tak heran jika manajemen Milan lalu bergerak membidik Igli Tare, yang baru saja mundur dari posisi direktur teknik Lazio, setelah bertugas sejak 2008.
Kebetulan, sosok asal Albania itu memang dinilai pas dengan kriteria: bisa berprestasi dengan anggaran terbatas. Memang, Tare menjadi aktor kunci di balik layar, yang membuat Lazio bisa kembali bersaing di papan atas Liga Italia.
Dengan pengamatan cukup cermat, pemain berkualitas macam Luis Alberto dan Ciro Immobile mampu didatangkan. Meski Si Elang ditinggal pelatih Simone Inzaghi, mereka tetap mampu meraih tiket ke Liga Champions musim 2023-2024, berkat keputusan jitu menunjuk Maurizio Sarri.
Sebelumnya, Tare pernah didekati Milan pada tahun 2019, tapi eks penyerang Lazio itu menolak tawaran kubu San Siro, karena masih punya tugas yang belum beres di klub ibu kota Italia.
Dengan rekam jejak cukup panjang dan sudah teruji, Tare mungkin akan membuat pendekatan transfer "murah tapi bagus" yang ingin tetap diterapkan rival sekota Inter Milan itu masih berlanjut, dengan beberapa penjualan mahal di sana-sini.
Meski terdengar pelit, keberadaan direktur teknik jempolan (baik dari sisi prestasi maupun finansial) belakangan memang menjadi satu faktor kunci sukses di Italia.
Selain Tare semasa di Lazio, ada Beppe Marotta yang mengotaki dapur Inter Milan dan Cristiano Giuntoli yang ikut andil membawa Napoli meraih scudetto, berkat sejumlah transfer jitunya.
Seiring munculnya kasus "Plusvalenza" yang menimpa Juventus, dan membuat mereka kena pengurangan poin, kesadaran untuk membuat aspek prestasi olahraga dan finansial klub bisa seiring sejalan tampaknya mulai muncul di pikiran manajemen AC Milan.
Diluar pertimbangan laba-rugi, ada aspek keberlanjutan yang ingin coba dibangun, supaya klub selamat dari ancaman pailit dalam jangka panjang. Kebetulan, masalah kebangkrutan sempat menimpa beberapa klub seperti Parma, Fiorentina dan Napoli.
Tentu saja, Milan tak ingin bernasib seperti itu, terutama setelah menjalani tahun-tahun yang cukup sulit. Karenanya, perubahan mereka lakukan di pos direktur teknik, dan ini cukup masuk akal, apalagi angka pendapatan dari Liga Italia masih belum sebesar Liga Inggris.
Meski kurang mengenakkan, inilah satu bagian dari transisi AC Milan setelah melewati masa krisis. Sebelum menjadi klub pemburu trofi seperti dulu, ada kestabilan yang ingin mereka bangun sebagai pijakan awal, supaya mereka tidak kolaps setelah berprestasi akibat salah urus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H