Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

SEA Games, "Arisan" Olahraga Asia Tenggara?

11 Mei 2023   21:47 Diperbarui: 12 Mei 2023   09:40 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanda selamat datang dan maskot menjelang opening ceremony SEA Games 2023 Kamboja. Foto: AFP/Tang Chhin Sothy via kompas.com

Judul di atas mungkin agak sarkastik, tapi menjadi relevan ketika beragam aturan aneh, termasuk yang menjurus ke arah "curang" bermunculan di SEA Games 2023. Entah mengapa Kamboja sebagai tuan rumah seperti mendapat previlese membuat situasi menguntungkan untuk mereka.

Di cabor bola basket kategori 3 lawan 3 misalnya, 3 dari 4 personel tim Kamboja diisi pemain-pemain naturalisasi kelahiran Amerika Serikat, yakni Brandon Jerome Peterson, Darrinray Dorsey, dan Sayeedalkabir Pridgett. Ketiganya mampu membantu Kamboja juara di rumah sendiri, mengungguli Filipina di final.

Di cabor atletik kategori triatlon, tim Negeri Angkor Wat juga diperkuat atlet naturalisasi kelahiran Prancis, yakni Margot Garabedian. Hasilnya, medali emas juga berhasil disabet.

Langkah serupa juga diambil negara berbahasa Khmer ini, dengan menaturalisasi dua atlet judo kelahiran Ukraina untuk memperkuat tim judo mereka.

Satu yang paling mencuri perhatian datang dari cabor bulutangkis kategori ganda campuran yang serba tidak biasa. Disebut demikian, karena Kamboja menambahkan kategori ini, dengan hanya melibatkan Myanmar, Laos, Brunei dan Timor Leste sebagai lawan.

Tapi, capaian ini lalu jadi kontroversial, selain karena peserta yang dibatasi, Kamboja diduga telah merekrut eks pebulutangkis Tiongkok, Zhou Meng, yang didaftarkan dengan nama Chourng Meng, dan tidak ikut dalam acara pengalungan medali emas.

Kontroversi lain juga hadir, saat Non Sromoachkroham meraih medali emas di cabor pencak silat tanpa bertanding di nomor tanding putra kategori U-45, karena menang WO atas Malaysia di semifinal dan Indonesia di final. Banyak pihak menyebut, momen ganjil ini tak lepas dari intervensi tuan rumah.

(Kompas.com)
(Kompas.com)

Di luar aneka strategi itu, Kamboja juga mempertandingkan cabor lokal seperti Kun Bokator, Kun Khmer, ditambah cabor "kurang dikenal" yang dikuasai, seperti Vovinam (beladiri lokal. populer di Kamboja dan sebagian Vietnam), Chinlone (sepak takraw ala Myanmar) dan sepak takraw (dari Thailand).

Alhasil, negara monarki ini bisa bersaing ketat dengan Vietnam dan Thailand di tiga besar klasemen umum, dan mengungguli perolehan medali emas Indonesia.

Padahal, sebelum edisi 2023, negara di Semenanjung Indocina ini tak pernah meraih sampai puluhan medali emas sekaligus di satu edisi.

Sebenarnya, ini adalah satu "kebiasaan umum" di event pesta olahraga Asia Tenggara. Setiap tuan rumah memang punya hak mempertandingkan cabor lokal atau yang mereka kuasai.

Sebelum Kamboja, ada Myanmar yang mempertandingkan Chinlone dan Sittuyin (catur tradisional Myanmar) di edisi 2013. Di edisi 2005, Thailand mempertandingkan sepak takraw, sementara Filipina menghadirkan cabor Arnis (beladiri tradisional Filipina) tahun 2005.

Ada juga strategi lain seperti menambah alokasi medali emas pada cabor unggulan seperti wushu (di SEA Games Vietnam 2003), atau menghadirkan cabor dari negara nontropis (misal hoki es di SEA Games Malaysia 2017).

Karena itulah, kebanyakan tuan rumah SEA Games minimal mampu bertengger di posisi tiga besar perolehan medali. Ada persiapan dan perencanaan sedemikian rupa, yang bisa berjalan dengan memanfaatkan celah aturan yang ada, misalnya soal kelonggaran memakai pemain naturalisasi.

Kalau tujuannya untuk meraih prestasi, sebenarnya sah-sah saja, karena memang tidak melanggar aturan. Apalagi, ada nilai konservasi budaya, lewat hadirnya cabor lokal dari suatu negara. 

Masalahnya, berhubung ini event olahraga yang mengedepankan sportivitas, rasanya event dua tahunan ini sudah mulai tidak sehat, karena tuan rumah terlalu diistimewakan.

Alhasil, event dua tahunan ini lebih mirip  arisan. Semua dapat giliran untuk terlihat superior di rumah sendiri, setelah itu, tunggu giliran selanjutnya. Kecuali, kalau negara itu memang sudah jago di level Asia Tenggara.

Kalau hanya melihat pemerataan dan kebanggaan tiap tuan rumah, mungkin semuanya terlihat adil. Masalahnya, ketika naik level, misalnya di level Asia, mentalitas jago kandang inilah yang hadir.

Di Asian Games, negara-negara Asia Tenggara kerap masuk posisi 5 besar ketika jadi tuan rumah. Begitu jadi tamu, masuk sepuluh besar saja sudah lumayan.

Dengan mentalitas seperti itu, wajar jika standar yang ada lebih rendah lagi saat naik level ke Olimpiade. Jangankan 10 besar, masuk 40 besar saja sulit.

Satu-satunya harapan tinggal jadi tuan rumah. Itupun entah kapan.

Di satu sisi, event seperti SEA Games memang bisa memperkaya pengalaman bertanding atlet di level internasional, tapi karena budaya kompetisinya kurang sehat, ini justru bisa mengkerdilkan mental bertanding, dan melemahkan saat naik level.

Dengan demikian, seharusnya ini bisa jadi catatan untuk para pemangku kepentingan, agar bisa lebih fokus meningkatkan kualitas atlet nasional. Dengan harapan, dimanapun bertanding, prestasi bisa diraih.

Jadi, tak perlu repot-repot menunggu jadi tuan rumah event besar untuk berprestasi. Bukan berarti tak boleh jadi tuan rumah, tapi lebih karena di negeri ini, banyak hal yang rawan dipolitisasi (termasuk olahraga) terutama di masa-masa jelang pesta politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun