Padahal, sebelum edisi 2023, negara di Semenanjung Indocina ini tak pernah meraih sampai puluhan medali emas sekaligus di satu edisi.
Sebenarnya, ini adalah satu "kebiasaan umum" di event pesta olahraga Asia Tenggara. Setiap tuan rumah memang punya hak mempertandingkan cabor lokal atau yang mereka kuasai.
Sebelum Kamboja, ada Myanmar yang mempertandingkan Chinlone dan Sittuyin (catur tradisional Myanmar) di edisi 2013. Di edisi 2005, Thailand mempertandingkan sepak takraw, sementara Filipina menghadirkan cabor Arnis (beladiri tradisional Filipina) tahun 2005.
Ada juga strategi lain seperti menambah alokasi medali emas pada cabor unggulan seperti wushu (di SEA Games Vietnam 2003), atau menghadirkan cabor dari negara nontropis (misal hoki es di SEA Games Malaysia 2017).
Karena itulah, kebanyakan tuan rumah SEA Games minimal mampu bertengger di posisi tiga besar perolehan medali. Ada persiapan dan perencanaan sedemikian rupa, yang bisa berjalan dengan memanfaatkan celah aturan yang ada, misalnya soal kelonggaran memakai pemain naturalisasi.
Kalau tujuannya untuk meraih prestasi, sebenarnya sah-sah saja, karena memang tidak melanggar aturan. Apalagi, ada nilai konservasi budaya, lewat hadirnya cabor lokal dari suatu negara.Â
Masalahnya, berhubung ini event olahraga yang mengedepankan sportivitas, rasanya event dua tahunan ini sudah mulai tidak sehat, karena tuan rumah terlalu diistimewakan.
Alhasil, event dua tahunan ini lebih mirip  arisan. Semua dapat giliran untuk terlihat superior di rumah sendiri, setelah itu, tunggu giliran selanjutnya. Kecuali, kalau negara itu memang sudah jago di level Asia Tenggara.
Kalau hanya melihat pemerataan dan kebanggaan tiap tuan rumah, mungkin semuanya terlihat adil. Masalahnya, ketika naik level, misalnya di level Asia, mentalitas jago kandang inilah yang hadir.
Di Asian Games, negara-negara Asia Tenggara kerap masuk posisi 5 besar ketika jadi tuan rumah. Begitu jadi tamu, masuk sepuluh besar saja sudah lumayan.
Dengan mentalitas seperti itu, wajar jika standar yang ada lebih rendah lagi saat naik level ke Olimpiade. Jangankan 10 besar, masuk 40 besar saja sulit.