Bicara soal cabor sepak bola putra SEA Games 2023, kebanyakan media, khususnya di Indonesia, cenderung menyoroti catatan impresif Timnas U-22. Maklum, dari 3 pertandingan yang sudah dijalani, tim asuhan Indra Sjafrie selalu menang tanpa kebobolan, dan mencetak total 11 gol.
Terlepas dari lawan-lawan yang relatif ringan, jika dibanding Thailand dan Vietnam, memang ada progres menarik dari Marselino Ferdinan dkk, karena mereka mampu tampil konsisten, sekalipun komposisi tim kadang dirotasi untuk mengakali jadwal padat.
Karenanya, optimisme tetap kuat, jelang partai terakhir melawan tuan rumah Kamboja, Rabu (10/5). Kebetulan, secara historis, Tim Garuda punya catatan kemenangan cukup dominan.
Hanya saja, pertandingan ini akan terasa agak lain dari biasanya. Selain karena faktor tuan rumah dan animo penonton, tim asuhan Keisuke Honda ini juga sedang mengejar kesempatan lolos ke semifinal.
Meski tipis, peluang Chou Sinti dkk masih ada. Dengan catatan, mereka mampu mengalahkan Timnas Indonesia U-22, dan Myanmar takluk dari Filipina.
Situasi ini mungkin terdengar tak biasa. Maklum, sebelum berbenah dengan menggandeng JFA (PSSI-nya Jepang) dalam beberapa tahun terakhir, The Angkor Warriors tergolong tim anak bawang di Asia Tenggara, mulai dari level senior sampai junior.
Dengan perkembangan mereka akhir-akhir ini, wajar jika ada sedikit harapan di kubu Kamboja. Apalagi, di ajang Piala AFC, Visakha FC (klub Kamboja) sempat mengalahkan Bali United 5-2.
Secara permainan Timnas senior Kamboja juga mulai mampu mengimbangi Indonesia. Setidaknya, mereka tidak lagi jadi lumbung gol di dua edisi terakhir Piala AFF.
Tapi, entah karena faktor sebagai tuan rumah atau ekspektasi tinggi, situasi tidak biasa ini lalu menghasilkan sebuah optimisme tingkat tinggi.
Saking optimisnya, Sao Sokha, Ketum FFC (PSSI-nya Kamboja) sampai berencana akan mundur jika Kamboja gagal lolos ke semifinal. Rencana ini sempat terjadi setelah kekalahan 0-2 atas Myanmar, sebelum akhirnya dibatalkan atas desakan publik dan Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja.
Andai Kamboja takluk dari Indonesia di partai terakhir, mungkin rencana mundur ini akan jadi satu tarik-ulur menarik. Bukan bermaksud meragukan, tapi dalam sebuah federasi sepak bola, kadang ada permainan tarik-ulur layaknya politik, lengkap dengan segala keruwetannya.
Walau olahraga punya nilai integritas dalam sportivitas, kehadiran nuansa politis (termasuk politisasi) bisa membuatnya jadi  abu-abu. Jadi, bukan kejutan kalau ada perilaku seperti politisi di dalamnya.
Di satu sisi, kemajuan sepak bola Kamboja bisa jadi pemicu yang pas, untuk sepak bola Indonesia mulai serius berbenah. Negara yang dulunya anak bawang saja terbukti bisa berkembang perlahan.
Tapi, di sisi lain, situasi di sepak bola Kamboja juga bisa jadi peringatan bagus buat publik sepak bola nasional dan media, untuk belajar membumi, tidak optimis secara berlebihan, apalagi sampai menjadi banal.
Keyakinan pada hal positif yang sudah dibangun itu memang wajar, tapi kalau belum apa-apa sudah terlalu yakin, keyakinan itu bisa memberi pukulan balik sangat menyakitkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H